SERANG – Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (Amuk) Bahari Banten terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Pena Masyarakat Banten menggelar dialog sekaligus Konferensi Pers penolakan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Banten di salah satu cafe di Kota Serang, Minggu (17/1/2020).
Pada kesempatan itu, Aktivis Jatam, Ki Bagus menyampaikan, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) saat ini hampir ditetapkan di seluruh Provinsi di Indonesia.
“Ada 28 Provinsi di Indonesia termasuk Banten telah menetapkan Perda RZWP3K ini,” katanya.
Bagus menjelaskan, Dari 28 Perda Zonasi Pesisir yang sudah ditetapkan mayoritas mencederung memberikan alokasi besar untuk kepentingan reklamasi, baik reklamasi pelabuhan, wisata, bisnis properti bahkan reklamasi zeti-zeti Industri pertambangan.
Sejauh ini kata Bagus, terdapat 156 konsesi tambang di kawasan pulau-kecil, serta 100 tambang dikawasan pesisir.
“Kalai berkaca dari potret ini harusnya Perda RZWP3K lebih ke arah untuk melingudngi masyarakat nelayan. Namun, Perda ini justru memberikan alokasi luas untuk penentingan reklamasi,” ujarnya.
Senada, Aktivis Kiara, Kierman Saragih menambahkan, secara formil Perda tersebut cacat prosedur serta melanggar peraturan penyusunan Perda RZWP3K.
“Perda ini cacat, tidak ada Transparasi serta partisipasi publik dari masyarakat nelayan yang terdampak,” terangnya.
Menurut Kierman, penyusunan Perda wajib melibatkan partisipasi masyarakat nelayan, disitu ujar dia, Nelayan harus memperoleh akses ruang hidup, ruang tangkap ikan, serta pesisir.
“Kita lihat ini meninjukan watak asli pemerintah tidak serius dalam menjaga dan memberikan kelangaungan hidup nelayan di Banten,” katanya.
Sementara itu, Koordintor Pena Masyarakat Banten, Mad Haer Efendi mengakui, pihaknya telah melayangkan kritik terhadap proses penyusunan Ranperda hingga menjadi Perda RZWP3K Banten.
Kritik tersebut lanjut Aeng, dilayangkan karena proses penyusunannya yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan penyusunan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Kritik Perda ini telah kami lakukan dalam berbagai kesempatan sewaktu pihak Pemerintah Provinsi Banten melakukan pembahasan Ranperda RZWP3K,” jelasnya.
Kendati demikian sambung Aeng, hingga sampai saat ini, Pemerintah Daerah Banten bahkan tidak membuka pada publik dokumen Perda tersebut.
Lanjut Aeng, Jikamelihat pada dokumen lama dalam proses pembahasan Ranperda RZWP3K yang disusun pada tahun 2020, disebutkan sejumlah alokasi peruntukkan ruang di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Alokasi peruntukkan ruang tersebut terdiri dari proyek pariwisata, pelabuhan, pertambangan, industri, energi,
konservasi, pipa bawah laut, dan kawasan strategis nasional.
“Dilihat dari alokasi peruntukkan ruang, pemukinan nelayan di Provinsi Banten tak memiliki tempat dalam
draft ranperda lama yang dikeluarkan tahun 2020 sehingga Ranperda tersebut tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan
tradisional,” terangnya.
Sejauh ini masih Aeng, praktik-praktik penggusuran ruang hidup masyarakat pesisir oleh proyek proyek industri ekstraktif kian marak terjadi di Provinsi Banten. Mulai dari kriminalisasi
tiga masyarakat di Pulau Sangiang.
Dikatakan Aeng, Masyarakat yang telah hidup beberapa generasi di pulau tersebut kini terancam kelangsungan keberadaannya akibat konflik ruang dengan PT Pondok Kalimaya Putih (PT PKP).
“Itu zama dengan masyarakat pesisir Dadap yang dilaporkan ke polisi karena menolak reklamasi, terus Nelayan tradisional di Ujung Kulon
harus sembunyi-sembunyi melaut karena pelarangan oleh pihak Taman Nasional Ujung
Kulon,” ungkapnya.
“Kemudian Nelayan Cikubang, Bojonegara, yang sampai saat ini tidak memiliki ruang bersandar kapal yang layak karena dihimpit oleh Kawasan industri yang berjajar di sekitar pesisir Desa Agrawana, Belum lagi masyarakat pesisir Bayah yang terganggu
karena adanya penambangan pasir laut yang akan merusak biota dan juga
mendangkalkan wilayah pesisir laut Bayah,” paparnya.
Setidaknya Aeng mencatat ada 24 kasus perampasan ruang hidup nelayan dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi selama 2017-2020, baik itu pencemaran limbah industri,
penggusuran, kecelakaan laut, kriminalisasi, yang diyakini akan makin banyak terjadi setelah disahkannya Perda RZWP-3-K Banten.
“Bahkan evaluasi dari berbagai Perda
RZWP-3-K yang telah disahkan di 27 provinsi lainnya, masih terdapat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional,” jelas Aeng.
Oleh sebab itu, AMUK Bahari Banten menolak Perda RZWP3K Banten yang baru disahkan sebab jauh dari semangat perlindungan dan
keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu kata dia, tidak ada pelibatan masyarakat nelayan yang sejatinya adalah pemangku kepentingan utama dalam menentukan nasib Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Nah alih-alih melindungi kepentingan nelayan, Perda ini hanya disusun untuk melayani kepentingan investasi reklamasi, tambang,
pariwisata dan industri ekstraktif-eksploitatif lain yang semakin menggerus kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil,” cetusnya.
Terakhir, Aeng pun mendesak Pemerintah harus harus segera membatalkan Perda Zonasi serta
dilakukan evaluasi menyeluruh atas produk kebijakan yang melegitimasi perampasan dan pengrusakan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Provinsi Banten. (Jen/red)