SERANG —Peringati Hari Perempuan Internasional atau Internasional Women Day Koalisi Masyarakat untuk Demokrasi (KAMRAD) yang tergabung dari berbagai lapisan organisasi Gelar Aksi Pawai Berlawan dari UIN SMH Banten sampai Alun-Alun Kota Serang, Senin (9/3/2020).
Koodinator aksi Yoga mengatakan, melalui momentum International Women’s Day 2020, semua masyarakat Indonesia tidak boleh berdiam diri dan harus bersikap.
“Lewat rajutan perjuangan kerakyatan dan solidaritas kaum perempuan Indonesia, tidak akan ada pembebasan manusia tanpa pembebasan perempuan,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini perempuan Indonesia ingin mendapat ruang politik demokratisnya, negara melakukan praktek kekerasan dan diskriminasi. Contohnya, kata dia, saat aksi demonstrasi di Surabaya, salah satu massa aksi perempuannya mendapat perlakukan pelecehan seksual dengan hasutan dan remasan payudara dari kepolisian.
“Aksi kekerasan dan diskriminasi perempuan ini belum ditambah dengan perlakuan aparat di wilayah konflik agraria dan perjuangan pekerja di Indonesia, seperti ibu-ibu tani Rembang dan buruh berlawan Bekasi,” katanya.
Ia menjelaskan, menurut rilis Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, pada tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus.
“Angka tindak kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia pun sangat memprihatinkan. Angka besar ini menumbuhkan rasa kegeraman dan kemarahan kita untuk berlawan dan menyikapinya bersama,” paparnya.
Selain itu, Masyarakat sipil sudah berinisiasi untuk menekan negara segera menghadirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang akan memberi perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dan tentunya seluruh perempuan Indonesia.
Namun, Ia merasa kecewa lantaran hingga saat ini negara belum mengesahkannya dan cenderung tidak memberi perlindungan hukum perempuan Indonesia.
“Negara masih disibukkan dengan produk-produk hukum pro investasi dan kekerasan di Indonesia yang seharusnya dihapuskan” ungkap yoga.
Ia juga mengatakan, dalam keadaan kelas pekerja perempuan, mereka dibatasi pada kerja yang mengeksploitasi tubuh mereka.Kebutuhan korporasi untuk menonjolkan kemolekan tubuh mengakibatkan perempuan ditempatkan pada pos kelompok kerja pemasaran dan pelayanan.
“Ruang kebijakan efisiensi, seperti cuti haid dan hamil pun abai diberikan perusahaan. Kerangka hukum yang sedang dikerjakan pemerintah, Omnibus Law, mengafirmasi kepentingan perusahaan yang mengeksploitasi kerja tanpa henti,” tutupnya.
Diakhir aksinya mereka menuntut agar pemerintah Indonesia mewujudkan kesetaraan dan bebas kekerasan untuk kaum perempuan, dan sahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Tolak Omnibus Law, Hentikan Konflik Agraria, Wujudkan Ruang Demokrasi bagi rakyat. (Jen/red)