Oleh : Syahrul Ramadhan, S. Ag,MM, Ketua Umum PW IDMI (Ikatan Da’i Muda Indonesia) Provinsi Banten
Updatenews.co.id – Kita tengah berada di penghujung tahun 2020, sebentar lagi, kita akan memasuki tahun 2021. Banyak hal dan peristiwa penting yang terjadi pada tahun 2020 ini. Mulai dari banjir bandang dan longsor yang terjadi di beberapa daerah, budaya korupsi yang merajalela, derasnya tenaga asing china masuk ke Indonesia, Kontroversi RUU Ciptaker yang dicurigai memberikan karpet merah bagi tenaga kerja asing (TKA) dan RUU HIP yang diduga keras ada upaya mendongkel ideologi Pancasila, konflik dan isu sara yang terus mengemuka, hingga wabah pandemi Covid 19 yang mempengaruhi semua sector kehidupan dan memaksa merubah kebiasaan manusia dengan istilah New Normal.
Pada kondisi inilah, sakralitas moral dan tradisi agama serta budaya bangsa mendapat ujian cukup berat dan memperoleh tekanan sangat serius. Yakni, berupa gelombang perubahan yang mengelora dari semua arah.
Maka terobosan yang paling penting pada Era ini, bukan lagi terbatas pada instrument teknologi, melainkan lebih pada sebuah tatanan budaya baru yang serba menghadirkan kejutan-kejutan.
Untuk dapat memasuki Peradaban Baru ini, tentu tidak cukup hanya dengan modal kesadaran semata, apalagi hanya sekedar hura hura dan pesta fora yang tidak bermakna, tetapi diperlukan sejumlah kualifikasi yang memadai. Sebab tanpa adanya kesiapan kualitatif. Kita hanya akan muncul sebagai pecundang dalam setiap persaingan Global, kita akan terus menerus sebagai pihak yang kalah dalam percaturan public.
Roda perubahan zaman yang mestinya dapat menghantarkan kita menuju sebuah kejayaan kultural justru berbalik akan menggilas kita. Bahkan “Mimpi Buruk” dunia usaha nasional kita, bisa saja menjadi kenyataan. Karenanya, tidak ada jalan lain yang dapat menyelamatkan kita dalam menapaki zaman ini, kecuali dengan tiga hal, yakni Ilmu Pengetahuan, Komitmen keimanan dan Etos Kerja.
Dalam Islam, Ilmu pengetahuan ditempatkan ke dalam posisi yang amat penting, Islam menjunjung tinggi-tinggi derajat manusia yang berilmu, selama ia tidak menyebabkan manusia menjadi congkak dan sombong.Sebab pencarian ilmu yang dianjurkan oleh Al-Qur’an sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan spirit pengabdian pada Tuhan.
Inilah yang membedakan ajaran Islam dan Barat. Ketika barat mendewakan ilmu pengetahuan dan memisahkannya dari agama dalam hal ini iman, maka islam justru mempertemukannya. Sehingga ilmu dan iman menjadi dua buah kutub dalam satu lingkaran, keduanya amat rekat saling mengisi.
Sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al-Mujadilah Ayat 11, yang artinya: “…… Allah akan mengangkat derajat diantara kalian orang-orang beriman dan orang-orang berilmu…”
Ilmu memberi kita kekuatan dan pencerahan, sedangkan keimanan memberikan cinta harapan dan kehangatan. Ilmu menciptakan tekhnologi dan keimanan menciptakan tujuan, ilmu memberi kita momentum dan keimanan memberi kita arah, ilmu berarti kemampuan dan keimanan adalah kehendak baik, ilmu adalah revolusi eksternal dan keimanan adalah revolusi internal, ilmu memperluas manusia secara horizontal dan keimanan meningkatkannya secara vertical, ilmu tanpa iman laksana pedang ditangan orang mabuk, seperti pelita ditangan pencuri.
Demikian sebaliknya, Iman tanpa ilmu akan lumpuh, dan seperti pelita di tangan seorang bayi. Dengan kata lain, hanya dengan mengintegrasikan keduanyalah kita akan mencapai kehidupan yang harmonis dan handal. Yang selanjutnya dapat menghasilkan kemajuan bagi masyarakat, bangsa dan negara ini.
Disamping menempatkan ilmu dan iman ke dalam posisi amat penting. Islam juga memilki pandangan sangat positif terhadap adanya Etos Kerja yang tinggi. Etos kerja dalam Islam adalah kesadaran kerja yang berlandaskan semangat tauhid dan tanggung jawab ketuhanan. Sehingga apa saja yang kita lakukan dalam wilayah kehidupan ini, semata-mata harus diniatkan dan diorientasikan sebagai ibadah. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Adz-Dzariat ayat 56: “Dan tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Semangat kerja yang dilatari oleh kesiapan ilmu pengetahuan, adalah merupakan modal paling penting, untuk dapat melahirkan karya-karya besar. Bahkan tidak akan pernah lahir satu karya agung pun sepanjang sejarah ini, yang dapat diciptakan dengan kemalasan dan kebodohan. Karenanya, Islam sangat membenci sifat malas dan bodoh.
Sebagai sebuah koreksi, salah satu kekalahan kita dengan banyak bangsa-bangsa lain adalah, karena kita belum terbiasa dengan semangat kerja keras dan sistematika terencana serta lemah dalam inovasi terlebih dalam situasi pandemic seperti ini. Waktu kita banyak terbuang untuk hal-hal yang sama sekali tidak produktif.
Kebiasaan ngerumpi, berjam-jam berselancar di medsos, jam karet dan budaya Asal Bapak Senang, menjadi agenda yang paling banyak digemari. Keterlambatan, membolos dan kerja setengah-setengah menjadi kegiatan utama yang sulit diubah. Alasan-alasan inilah sesungguhnya yang (maaf) akan mengakibakan sebuah bangsa menjadi kerdil dan terbelakang.
Mestinya kita malu dan berkaca diri pada bangsa Jepang, yang tujuh puluh lima tahun lalu saat kita baru merdeka dan sudah memulai pembangunan. Saat itu jepang justru negaranya hancur luluh lantak dihajar sekutu. Kini hasilnya, Jepang tampil sebagai negara super digdaya dengan fundamental ekonomi yang sangat kokoh.
Contoh lain adalah Singapura, sebuah negara pulau dengan jumlah penduduk cuma jutaan, yang setengah abad lalu masih menjadi negara miskin dengan derita ekonomi luar biasa. Kini secara dahsyat, membuktikannya sebagai negara perkasa dengan pendapatan perkapita penduduknya mencapai delapan kali Indonesia, bahkan cadangan devisanya mencapai 18 kali negara kita.
Persoalanya kemudian, mampukah kita sebagai bangsa besar dengan penduduk 250 juta lebih ini, memegang teguh nilai keimanan dan merubah ritme etos kerja kita menjadi lebih tinggi dan terencana? Jawabannya harus iya, sebab hanya inilah kata kunci yang sanggup merubah bangsa ini, agar menjadi bangsa yang besar dengan kekuatan besar dan pengaruh yang juga besar.