Oleh: Adhitya Angga Pratama
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Pascasarjana Untirta, Staf Humas Untirta)
Angka partisipasi pemilih dalam Pemilu serentak tahun 2019 kemarin tercatat naik cukup tinggi dibandingkan partisipasi pemilu pada tahun 2014. Menurut catatan KPU, partisipasi melonjak tajam hingga angka 81 persen. Anka itu melampaui target yang ditetapkan KPU sebesar 77,5 persen. Jumlah partipasi pemilu ini jauh di atas partipasi pemilih pada pemilu tahun 2014 yang hanya 75,11 persen (pileg) dan pilpres sebesar 69,58 persen (www.medcom.id, 31/5/2019).
Meski jumlah partisipasi bukan satu-satunya indikator yang dapat mencerminkan kualitas pemilu, tapi setidaknya secara kuantitatif hal ini menjelaskan jika Pemilu di Indonesia betul-betul menjadi perhatian sebagian besar rakyat, sehingga legitimasi hasil pemilu pun menjadi lebih kuat.
Pertanyaan yang penting mendapatkan perhatian dalam konteks ini adalah, faktor apa saja yang ditengarai menjadi penyebab naiknya angka pemilih dalam pemilu serentak tahun 2019? Tentu saja jawabannya bisa beragam. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis ingin fokus membahas soal bagaimana peran media massa mendorong partisipasi pemilih dalam pemilu 2019. Dalam amatan penulis, media memiliki peran cukup signifikan dalam pemilu serentak yang kali pertama dilakukan di Indonesia.
Media dan Pemilu
Media dalam sistem politik memiliki posisi dan peran penting. Bahkan, pers atau media dalam system demokrasi kerap disebut sebagai pilar demokrasi keempat, setelah kekuasaan esksektif, legislatif dan yudikatif . Oleh sebab itu, dalam konteks pemilu serentak kemarin, diakui atau tidak peran media tak bisa dianggap remeh dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Doris A Graber (Mass Media and American Politics, 1984: 43) bahwa media dalam system politik demokrasi berperan sebagai sosialisasi politik (political socialization).
Menyadari kekuatan besar media dalam mensosialisasikan ini, maka menjadi sangat masuk akal jika politisi, partai politik, atapun penyelanggara pemilu gencar melakukan sosialisasi lewat media massa, baik media massa cetak, elektronik (TV dan radio) maupun media internet. Banyak anggaran digelontorkan oleh mereka untuk melakukan sosialisasi lewat media massa, baik dalam bentuk iklan atau lainnya. Iklan dan informasi bertema politik demikian massif selama pelaksanaan kampanye pileg dan pilpres. Tujuannya jelas agar sosok, program maupun agenda dan tata cara pemilu dapat tersebar luas ke tengah masyarakat pemilih.
Apalagi saat ini kita sudah memasuki era perkembangan media baru (new media) yang berkembang demikian pesat seiring perkembangan akses masyarakt terhadap internet yang kian luas. Hal ini bisa kita lihat trend pertambahan pengguna internet di Indonesia yang tiap tahun terus bertambah. Menurut data dari survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018 jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat mencapai 171 juta orang atau sekitar 64,8% dari total populasi rakyat Indonesia yang mencapai 264 juta jiwa (Kompas.com,16/05/2019).
Berbicara mengenai pengaruh media massa terhadap publik pemirsa, dalam teori komunikasi klasik kita kenal teori Jarum Suntik (hypodermic needle theory) yang disebut juga teori peluru. Menurut teori ini seluruh pesan politik yang disampaikan kepada masyarakat melalui media pasti berpengaruh signifikan di benak pembaca. Apa yang menjadi agenda media akan otomatis menjadi agenda publik pembaca dan pemirsa. Kesadaran politik masyarakat salah satunya bisa dipicu oleh informasi media, sehingga informasi media tentang pemilu dipercaya akan mampu secara efektif meningkatkan partisipasi pemilih.
Eksistensi dan Optimalisasi New Media
Saat ini, new media atau media baru yang berbasis jaringan internet, seperti website berita, ataupun media social seperti facebook, twitter, instagram, whats app, youtube dan lainnya berkembang begitu cepat. Akses terhadap media online saat ini demikian luas. Jauh menjangkau hingga ke pelosok desa, karena hampir seluruh masyarakat di Indonesia saat ini memiliki smartphone. Fenomena ini tentu menguntungkan dari sisi kecepatan dan massifikasi informasi pemilu ke masyarakat pemilih.
Pengunaan media baru saat ini disinyalir mulai mengalahkan media massa mainstream dalam menjadi sumber informasi penting di kalangan masyarakat, termasuk informasi politik. Sifatnya yang simple dan mobile karena diakses dari gadget dalam genggaman tangan menjadikan new media akrab dan hanpir tak bisa dilepaskan dari penggunanya. Pada pelaksanaan pemilu serentak 2019, media baru memiliki andil besar terhadap penyebaran informasi pemilu. Melalui media baru, masyarakat lebih mudah mendapatkan informasi seputar penyelenggaraan pemilu serentak 2019 di Indonesia. Sosialisasi pemilu kepada masyarakat dengan pemanfaatan media online membuat kerja sosialisasi penyelenggaraan pemilu menjadi lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi, intensitas masyarakat menggunakan media baru yang demikian besar dan luas saat ini kadang tak sebanding dengan tingkat literasi media yang dimiliki oleh masyarakat. Warga internet Mereka dengan mudah dan tanpa pertimbangan menyebarkan ragam informasi yang berseliweran di gadget mereka, tanpa verifikasi dan validasi soal kebanaran informasi yang mereka terima. Ragam hoax politik pun termasuk informasi yang cepat menyebar di kalangan netizen. Padahal, nyaris tak ada lagi batasan ruang dan waktu di media online.
Guna mengantisipasi dampak negatif penyebaran informasi palsu (hoax) seputar pemilu berkembang di tengah masyarakat, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu melakukan edukasi literasi media internet kepada masyarakat. Mereka bisa melakukan kerjasama dengan stakeholder terkait, seperti dunia pendidikan, tokoh masyarakat, partai politik, media massa dan lainnya agar tercipta ekosistem pemilih yang betul-betul cerdas dalam memilah informasi seputar pemilu yang berkembang di internet. Dalam konteks ini, peningkatan literasi media baru diharapkan dapat sejalan dengan peningkatan literasi politik di tengah masyarakat pemilih. Muaranya adalah, masyarakat yang memiliki tingkat literasi tinggi ini diharapkan ikut mendorong terciptanya iklim politik yang sehat dan berkualitas.
Akhirnya, sebagai catatan penting di era new media yang semakin hari semakin berkembang pesat ini, bagaimanapun internet seperti dua mata pisau. Ia bisa berdampak positif maupun negatif. Bahkan, masyarakat biasa dapat menjadi seorang jurnalis (citizen journalism), sehingga sangat dimungkinkan mereka ikut andil dalam memproduksi informasi secara mandiri. Artinya, jika mereka salah dalam memberitakan informasi maka dengan mudahnya juga masyarakat lain yang menerima informasi itu akan ikut terjebak dalam kesalahan yang sama.
Bila masyarakat tidak jeli dalam mempelajari informasi, maka mereka akan menjadi korban informasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya kecerdasan masyarakat dalam mencerna informasi yang bertebaran melalui media internet. Semoga!