SERANG – Perputaran uang di masyarakat Padarincang, terhitung secara kasar dari sektor pertanian sawah bisa mencapai Rp24 miliar perbulan, dan angka tersebut tidak dapat tergantikan dengan kehadiran industri Geothermal (Pengelolaan energi panas bumi – red) di lokasi tersebut.
Selain itu, pembangunan geothermal dianggap justru malah menghadirkan ‘neraka’ di darat. Dikarenakan dampak dari proses ekspolitasi tersebut akan memunculkan adanya titik-titik uap panas, lumpur panas, gas beracun dan menambah potensi gempa tektonik.
Demikian yang terkuak dalam diskusi publik dengan tajuk ‘Geothermal, Siapa yang Diuntungkan?’ yang diadakan oleh Serikat Mahasiswa Sosialis Demokratik (SWOT) Banten di aula UIN SMH Banten, Kamis (25/7).
“Jika memang pembangunan itu harus ada pengorbanan. Tapi harus jelas, apa yang akan didapatkan dari pembangunan tersebut, namun kemudian ternyata yang muncul adalah masyarakat dikorbankan, karena lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahah,” jelas aktivis lingkungan dari Padarincang Doif.
Ia memaparkan, secara hitungan yang ada, Padarincang memiliki luas lahan 6ribu hektar dan dari hasil penghitungan Dinas Pertanian, 1 hektar tersebut dapat menghasilkan gabah sebanyak 5,2 ton. Dan jika dikalikan dengan harga Rp.4ribu, maka didapatkan hasil perputaran uang minimal Rp24 miliar perbulan.
“Selain itu, seolah neraka dihadirkan. Karena memang dalam proses eksploitasi, akan menyebabkan banyak dampak kerusakan alam. Efeknya tidak hanya di Padarincang, tapi juga akan ke seluruh daerah,” jelasnya.
Dijabarkan Doif, turbin untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi tersebut akan berputar jika panas yang muncul mencapai minimal 200 derajat celcius. Dengan panas tersebut, kemungkinan makhluk hidup bertahan akan sulit.
Sementara itu, Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Banten menyampaikan, proses pembangunan geothermal ini juga dikhawatirkan akan berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat Padarincang. Hal ini dikarenakan, secara sosial budaya, masyarakat Padarincang berprofesi sebagai petani.
“Kita hitung saja, akan banyak masyarakat yang terserap di sektor pertanian atau geothermal,” tegasnya.
Diungkapkan, dengan adanya investor juga akan memunculkan permasalahan baru. Mulai dari liberalisasi sosial, budaya, ekonomi. Sehingga kondisi masyarakat yang ada di Padarincang akan berubah dengan sendirinya.
“Padahal daerah Cadassari hingga Padarincang merupakan pagar moral bagi Banten. Di sini banyak ponpes dan santri-santri. Fakta yang terjadi, ketika muncul investasi, maka akan muncul juga liberalisasi sosial, seperti seks bebas dan lainnya,” ujar pria yang akrab dipanggil Endi ini
Menurut Endi, dengan permasalahan geothermal bukan hanya permasalahan Banten atau Padarincang saja. Namun, ini merupakan permasalahan nasional yang bersumber dari pemerintah pusat. Ia mengambil contoh, adanya kasus pembangunan semen merah putih di Lebak yang sebenarnya melanggar RTRW, namun dipaksa tetap ada dalam perubahan RTRW.
“Rezim ini memang rezim ugal-ugalan. Jadi tidak aneh dalam pidato presiden itu disebutkan akan memudahkan investor dan menggebuk yang menghalanginya,” tandasnya. (Nm/red)