SERANG – 74 tahun silam, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya untuk melepas segala penjajahan dari para kolonial. Tanggal 17 Agustus pun menjadi tanggal yang sakral dan selalu diperingati oleh seluruh rakyat Indonesia dengan memeriahkannya.
Rakyat Indonesia akan menggelar upacara diberbagai daerah, serta menggelar berbagai macam lomba sebagai bentuk wujud kebebasan dan cintanya kepada bangsa Indonesia. Namun, hal tersebut berbeda dengan yang dirasakan oleh warga Pulau Sangiang, Kabupaten Serang ini, mereka mengaku belum merasakan kemerdekaan yang seutuhnya ditanah kelahirannya itu.
Tentu bagaimana tidak, permasalahan kriminalisasi yang sempat terjadi beberapa waktu lalu belum hilang dari ingatan mereka, tiga warga Pulau Sangiang yang dituding oleh pihak perusahaan atas penyerobotan lahan ini sampai dibawa ke ranah hukum. Ditambah, permasalahan yang baru-baru ini muncul tentang Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang akan segera disahkan oleh DPRD Provinsi Banten.
Hal tersebut, dinilai akan mempersempit kebebasan warga Pulau Sangiang untuk mendapatkan hasil bumi disekitar pesisir pulau karena adanya Perda tersebut.
“Selama saya hidup dipulau, kita belum merasakan kemerdekaan itu seperti apa, kapan masyarakat Pulau Sangiang merdeka,” kata Kosasih Ketua RT Pulau Sangiang, Senin (19/8).
Koordinator LBH Rakyat Banten, Aeng mengatakan warga Pulau Sangiang tidak akan dapat apa-apa. Sehingga, semakin lama menurutnya warga akan terusir dari ruang hidupnya. Zona wisata lanjut Aeng, yang ditetapkan diwilayah Pulau Sangiang bisa jadi hanya untuk memperjelas dan memperpanjang penderitaan warga, terhadap pihak swasta yang mengklaim wilayahnya adalah milik mereka sendiri.
“Ada pula zona tambang. Dahulu, pantai Sangiang memiliki luas pantai yang luas makanya disebut oleh warga sekitar dengan mana pasir panjang, tapi mengapa saat ini pantai itu sudah tidak seperti dulu? ternyata akibat dari penambangan pasir laut yang sempat terjadi beberapa tahun lalu diwilayah sekitar selat sunda,” katanya.
“Efeknya adalah abrasi penurunan pasir pantainya. Satu lagi zona tangkap nelayan, potensi Pulau Sangiang sangat luar biasa, diperairannya itu adalah pertemuan antara laut Samudra Hindia dengan laut Indonesia, yang merupakan tempat berkumpulnya ikan, dan juga tempat berkumpulnya nelayan dari wilayah pesisir Banten, Lampung dan juga Jakarta untuk mendapatkan ikan sebagai mata pencahariannya,” ujarnya.
Aeng menilai, jika Perda RZWP3K disahkan, hal tersebut akan dapat merugikan warga yang terdampak khususnya Pulau Sangiang. Sehingga, ia meminta agar DPRD Banten dan Pemprov Banten membatalkan Perda tersebut.
“Dampak yang ditimbulkan dari Perda RZWP3K ini sangat merugikan jika benar-benar disahkan, apa lagi Perda tersebut tidak pernah melibatkan warga yang terkena dampak dari aturan tersebut. Kepada siapa lagi Masyarakat mengadu jika Pemerintah Provinsi dan Dewan Provinsi Banten mengesahkan aturan tersebut,” tukasnya. (Nm/red)