SERANG – Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK semakin meluas, salah satunya datang dari Banten. Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil di Provinsi Banten menggelar aksi demonstrasi di depan halte kampus UIN SMH Banten, mereka dengan tegas menyatakan menolak rencana DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam aksinya, massa aksi sempat terjadi aksi dorong-dorongan dengan aparat keamanan, saat aparat keamanan ingin memadamkan ban bekas yang dibakar oleh massa aksi, dan sempat terjadi kemacetan karena massa aksi memblokir jalan.
“Ditengah perilaku korupsi yang makin massif di semua lini kekuasaan, sulit mengharapkan agenda pemberantasan korupsi tanpa KPK. Artinya, memperlemah KPK harus dibaca sebagai upaya mengkerdilkan kinerja pemberantasan korupsi,” kata Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Fuaduddin Bagas, Selasa (17/9).
Bagas mengatakan, rakyat Provinsi Banten sejatinya harus mengungkap rasa apresiasi atas kinerja KPK selama ini. Karena berkat sentuhan KPK, kata Bagas, beberapa kasus tindak pidana korupsi kelas kakap berhasil diungkap.
“Sebut saja misalkan kasus yang melibatkan mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah; suap pendanaan Bank Banten yang menyeret pimpinan DPRD Banten periode 2014-2019, hingga kasus suap mantan Walikota Cilegon Tb Iman Ariyadi,” katanya.
Diluar konteks demikian, pihaknya menilai, revisi yang tengah diikhtiarkan oleh DPR dan Pemerintah adalah upaya untuk memperkuat pelemahan KPK. Misalnya, dengan pembentukan Dewan Pengawas. Dari gagasan berkembang ke publik, Dewan Pengawas akan menjadi lembaga kontrol terhadap wewenang strategis KPK, terutama wewenang penyadapan. Situasi demikian jelas, lanjut Bagas, akan mengurangi akselerasi kinerja penyidik dalam mengungkap sebuah perkara.
“Hal lain perihal rencana menempatkan pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Status pegawai KPK menjadi ASN bakal menghilangkan independensi penyidik. Sebab, pegawai KPK bakal berada dibawah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negaran dan Reformasi Birokrasi, yang tidak lain adalah pembantu langsung dari presiden,” terangnya.
Terkait kewenangan KPK, Bagas mengatakan, menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). DPR mengusulkan KPK memiliki jangka waktu satu tahun dalam mengusut suatu kasus sebelum akhirnya bisa menerbitkan SP3. Pemerintah hanya meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun. Waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks, tapi hanya bisa menangani kasus kecil.
“Koalisi Masyarakat Sipil menilai, seharusnya pembenahan terhadap regulasi yang berhubungan dengan korupsi dilakukan secara berurutan. Yang diselesaikan dulu UU KUHP, kemudian UU mengenai hukum acara, baru kemudian UU Tipikor,” tuturnya.
“Revisi UU Tipikor lebih genting dilakukan lantaran aturan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengadaptasi perjanjian multilateral antikorupsi internasional atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Antara lain seperti korupsi di sektor privat, perdagangan pengaruh, dan memperkaya diri sendiri dengan jasa,” katanya.
Bahkan, kata Bagas, ada rencana pemasukan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP yang lantas menurunkan deliknya menjadi kejahatan serius.
“Padahal, korupsi hingga saat ini tetap dianggap sebagai kejahatan luar biasa,” tandasnya. (Nm/red)