Oleh : Isya Anshori Agribisnis Untirta
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam yang melimpah tentunya harus diimbangi pula dengan sumber daya manusia yang mumpuni, sehingga kekayaan alam yang ada di Indonesia mampu dikelola dengan baik serta dapat mensejahterakan rakyatnya. Indonesia memiliki luas lahan sawah 8.186.469,65 ha, luas perkebunan 11.546.655,70 ha, luas ladang 5.073.457,40 ha, lahan sementara yang tidak di usahakan 11.957.736 ha (BPS 2017). Tentunya hal ini menunjukan banyaknya masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani, tercatat di 2017 jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian yaitu sebanyak 39,68 juta orang (BPS 2017).
Dengan lahan pertanian yang luas, menjadikan sektor pertanian di Indonesia sebagai salah satu sektor unggulan dalam hal pembangunan Indonesia. Namun saat ini tidak semua petani di Indonesia merasakan kesejahteraan dengan mengelola lahan pertaniannya. Berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP), NTP nasional Desember 2017 sebesar 103,06 atau turun 0,01 % dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,76 % lebih kecil dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,77 % (BPS 2017). Penurunan NTP ini tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.
Terlepas dari kesejahteraan petani, terdapat rantai distribusi yang mempengaruhi penghasilan dari petani. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasannya rantai distribusi komoditas pertanian memiliki proses yang panjang. Distribusi komoditas pertanian melalui beberapa tahap. Dari produsen (petani) menjual kepada pengepul tingkat kecil, lalu pengepul tingkat kecamatan, pengepul tingkat kabupaten, pedagang besar, baru lah pedagang besar yang memainkan harga di pasar. Sehingga dalam hal ini hasil produksi pertanian tidak secara langsung bertemu dengan konsumennya dan para pengepul banyak mendapatkan nilai lebih ataupun keuntungan dari hasil produksi petani.
Terlepas dari rantai distribusi yang dialami oleh petani akibat dari lemahnya informasi pasar, terdapat beberapa keterbatasan petani yang menyebabkan petani mendapatkan nilai tambah yang kecil dari hasil pertaniannya. Pertama yaitu modal. Untuk melakukan usaha pertanian tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Jika kita melihat realita di lapangan, petani dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis petani. Petani kecil, yaitu petani yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki modal untuk melakukan usaha pertanian sehingga peran mereka hanya menjadi buruh tani. Lalu petani sedang, yaitu petani yang tidak memiliki lahan namun memiliki modal untuk melakukan usaha tani sehingga mereka bisa melakukan usaha tani dengan cara menyewa lahan. Kemudian petani besar, yaitu petani yang memiliki lahan dan memiliki modal untuk melakukan usaha tani, sehingga mereka bisa mempekerjakan buruh tani untuk menggarap lahannya. Berdasarkan klasifikasi petani tersebut terlihat bahwa tidak semua petani memiliki modal yang cukup untuk melakukan usaha tani. Kedua, keterbatasan kemampuan tata kelola usaha pertanian. Untuk mengelola sebuah proses produksi, diperlukan kemampuan tata kelola yang memadai. Sebagian besar petani mendapatkan pengetahuan dan pengalaman pengelolaan sektor pertanian melalui pewarisan turun menurun.
Mereka memiliki kemampuan terbatas terhadap tata kelola yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan efisiensi dan meraih nilai tambah. Sementara itu, proses pasca panen, lebih-lebih lagi proses untuk skala besar, diperlukan tata kelola yang baik agar diperoleh hasil yang maksimal. Ketiga, lemahnya informasi pasar. tidak semua petani memiliki informasi mengenai pasar, sehingga dalam produksinya petani lebih memilih untuk menjual hasil pertaniannya kepada pengepul, karena memang peran pengepul disini adalah sebagai pasar bagi petani tersebut. Keempat, kelemahan petani dalam proses produksi. Petani melakukan usaha tani tidak berdasarkan kebutuhan pasar, padahal pasar merupakan salah satu variabel yang berpangaruh terhadap produksi pertanian. Sehingga hal ini menyebabkan nilai jual yang kecil.
Skema usaha tani, mulai dari hulu hingga hilir yang memang banyak terdapat masalah, namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan terdapat jalan keluar sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan apa solusi yang tepat untuk meningkatkan daya saing petani. Salah satu kelemahan petani adalah pengelolaan pasca panen. Dalam kegiatan pasca panen meliputi panen, pengumpulan, pengupasan, pencucian, penyortiran, pengkelasan (grading), pengangkutan, pengeringan (drying), pengemasan, dan penyimpanan. Sebagian besar petani kita tidak mengetahui mengenai indikator-indikator dalam pengelolaan pasca panen sehingga nilai jual produk mereka rendah dan daya saing petani pun menjadi rendah. Peran teknologi pun harus diterapkan dalam skema usaha tani. Sebagai contoh yaitu tanaman pangan, dalam hal ini padi, terdapat teknologi Rice Milling Unit (RMU) atau mesin penggilingan beras. Hal ini mengurangi tingkat kehilangan hasil panen. Penurunan tingkat kehilangan hasil saat panen khususnya usaha tani padi masih cukup tinggi, terutama pada saat panen dan perontokan gabah dengan cara dibanting yang mencapai 15%. Berdasar pada penelitian Setiyono et al. (2009), kehilangan pada saat perontokan dapat dikurangi hingga mencapai 5%. Hal ini tentunya akan mengoptimalkan petani dalam melakukan usaha tani.
Pengelohan hasil panen menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis pun harus dilakukan dalam usaha tani, tentunya agar petani tidak hanya menjual dalam bentuk komoditi, namun bisa menjual dalam bentuk produk olahan sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan meningkatkan daya saing petani. Dalam hal ini bisa dilakukan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagaimana tertera dala UU No.20 Tahun 2008. UMKM merupakan salah satu sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi global yang tertekan. Hal ini karena UMKM umumnya memanfaatkan sumber daya lokal, baik itu sumber daya manusia, modal, bahan baku, hingga peralatan.
Untuk meningkatkan daya saing, petani juga harus berserikat dan membentuk kelembagaan petani. Karena dengan adanya kelembagaan petani, kesulitan dalam melakukan usaha tani dapat diminimalisir, serta akan meningkatkan kualitas produksi dari petani itu sendiri. Dan peran kelembagaan petani ini pun harus di optimalkan. Pemerintah sendiri sudah menggulirkan untuk membentuk kelembagaan petani seperti Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) untuk memudahkan dalam akses subsidi pertanian. Selain itu pembentukan koperasi juga dibutuhkan sebagai implementasi dari kegiatan ekonomi kerakyatan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1. Secara kelembagaan, pemerintah sudah membuat Koperasi Unit Desa (KUD), namun KUD perlu diperkuat dari berbagai sisi, termasuk sisi tata kelola dalam perencanaan, pengoperasian maupun pengawasan dan evaluasi. Perlu dibuat semacam “small success story” untuk koperasi unit desa di tingkat petani. Selain itu, perlu diperkuat pula pola koordinasi KUD di berbagai level sehingga Induk Koperasi Unit Desa dapat menjadi lembaga skala nasional yang mampu memperjuangkan nasib dan kesejahteraan petani di tingkat nasional. Kelembagaan petani juga menjadi salah satu poin dari tujuh poin Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP). Tentunya strategi tersebut untuk mewujudkan Rencana Strategis Kementrian Pertanian tahun 2015-2019.
Peningkatan daya saing petani juga dapat dilakukan dengan cara menerapkan sistem e-commerce dalam usaha tani. E-commerce merupakan penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau lainnya.
Pemanfaatan e-commerce yang sebagian besar masyarakat menggunakannya, akan dapat mendorong kepada keefektifan dan keefisiensi kerja dalam skema usaha tani, jika secara intens dan maksimal dilakukan. Dengan e-commerce, akan membuat jalur pemasaran produk pertanian menjadi semakin luas dan kita juga dapat mengetahui gambaran mengenai jaringan perdagangan elektronik yang paling sesuai dalam memberdayakan komunitas petani, serta merumuskan satu model pemberdayaan komunitas petani.
Untuk meningkatkan daya saing petani dibutuhkan pengelolaan hasil panen secara optimal. Segala keterbatasan petani yang menghambat dalam mengoptimalkan usaha tani haruslah diminimalisir, tentunya dengan melakukan pendampingan dan penyuluhan terhadap petani. Pemerintah juga memiliki peran dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada petani demi meningkatkan kualitas dan daya saing petani sehingga petani di Indonesia dapat hidup sejahtera.