SERANG – Tanggal 24 September hingga 30 September telah dilangsungkan aksi #ReformasiDikorupsi oleh beberapa elemen massa; Buruh, Tani, Nelayan, Mahasiswa, dan Pelajar Menengah. Namun, keberlangsungannya dinilai chaos dan menuai tindakan represif dari aparat Kepolisian yang mengamankan jalannya aksi.
Beberapa peserta aksi meninggal dunia, antara lain; Bagus Putra Manendra (Jakarta), Immawan Randi (Kendari), Maulana Suryadi (Jakarta), Akbar Alamsyah (Jakarta), dan Muhammad Yusuf Kardawi (Kendari).
Menanggapi hal tersebut, dosen Hukum Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Alyth Prakarsa, S.H.,M.H mengutarakan pendapatnya terkait bagaimana perilaku aparat saat aksi #ReformasiDikorupsi berlangsung.
Menurutnya, ada beberapa poin tentang kebebasan berpendapat di muka umum. Oleh karenanya, perlu dipahami bersama bahwa menyampaikan pendapat secara terbuka atau di muka umum dilindungi UUD 1945 pasal 28.
“Merupakan hak warga negara yang dijamin dan dilindungi penuh oleh konstitusi kita. Ketika ada warga negaranya menyampaikan haknya, negara dalam hal ini, Polri memiliki kewajiban menjamin penyampaian hak tersebut sampai pada ruang yang tepat,” ujar Alyth pada reporter updatenews.co.id, saat ditemui di Kedai Kopi miliknya di Kaloran, Kota Serang belum lama ini.
Ia mebegaskan, jika polisi berperan sebagai pengaman saat berlangsungnya penyampaian pendapat di ruang terbuka, maka hal ini kata dia, merupakan sebuah bentuk konsekuensi dari konsep negara demokrasi.
“Polri dalam hal penanggung jawab keamanan harus wajib melakukan upaya-upaya dalam menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban saat warga negaranya menyampaikan pendapat di muka umum. Ini adalah bagian dari konsekuensi negara demokrasi,” tegasnya
Kajian Alyth Terkait Aturan Hukum Menangani Demonstrasi Massa
Alyth mengingatkan jika polisi berperan sebagai penegak hukum, bagian dari sub sistem yang bergerak sesuai komando. Menurutnya, polisi harus memahami filosopi Perkapolri No. 8 tahun 2009 sebelum melakukan represi dan berkewajiban untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara.
“Dalam hal ini, ada Perkapolri No. 8 tahun 2009, sebelum memahami tindakan represi tersebut Polisi seharusnya memahami lebih dulu filosopi dari peraturan tersebut. Polri sebagai aparat pelindung masyarakat harus berkewajiban untuk melindungi HAM,” jelasnya
Ia juga mengatakan, bahwa setiap penanganan demostrasi telah diatur pada Perkapolri No. 8 tahun 2009. Pernyataan Alyth tersebut merujuk pada pasal 43 ayat 1 yang berbunyi “Dalam upaya mengatasi kerusuhan massal, setiap anggota Polri wajib menerapkan urutan tindakan mulai dari penggunaan kekuatan yang paling lunak atau pendekatan persuasif, sebelum melakukan penindakan represif atau penegakan hukum berdasarkan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas”
Oleh karena itu, sebagai pelindung masyarakat, dinyatakan jika polisi harus berkewajiban untuk melindungi HAM. Dalam hal ini, prinsip praduga tak bersalah juga harus dimiliki oleh polisi saat meninjau aksi demonstrasi yang berlangsung. Alyth menegaskan jika hal yang terpenting yakni tanggung jawab Polri.
“Polri sebagai aparat pelindung masyarakat harus berkewajiban untuk melindungi HAM. Salah satunya adalah hak dalam menyatakan pendapat di muka umum, polisi juga harus memiliki prinsip praduga tidak bersalah dalam melihat atau aksi demonstrasi. Yang terpenting adalah proses penyelenggaraan pengamanan merupakan tanggung jawab Polri,” jelasnya.
Apapun persoalan yang terjadi di lapangan mengenai demonstrasi dan berpendapat di muka umum, Alyth mengharuskan Polri memprioritaskan HAM sebagai sandaran utamanya. Hal inilah yang membuat aparat kepolisian tidak bisa semerta-merta bertindak represif.
“Polri juga harus melakukan tindakan-tindakan yang terukur, ketika melihat ekskalasi gerakan demonstran yang berada di jalanan misalnya, apakah Polri memiliki kewenangan untuk perlu bertindak represif? Tidak semerta-merta—ukuran-ukurannya harus tetap melihat HAM terlebih dahulu,” tuturnya.
Tolak Ukur Perkapolri
Lebih jauh ia menjelaskan, tentang Perkapolri No. 9 tahun 2008 sebagai tolak ukur polisi dalam menindak demonstran. Pada batasan-batasan yang disebutkan, dinyatakan polisi harus tetap memberikan perlindungan terhadap massa aksi yang taat hukum. Tindakan tegas akan tetap diadakan jika terjadi tindakan di luar batas namun harus ada kejelasan dalam pengukuran terhadap counter yang dimunculkan massa.
“Dalam Perkapolri No. 9 Tahun 2008 itu—ada batasan-batasannya juga—bahwa polisi wajib melakukan perindungan terhadap massa yang taat hukum. Ketika ada bagian dari demonstran yang melakukan pelanggaran hukum; perlu ada tindakan tegas; tetapi ukurannya harus jelas harus sesuai proporsi nulitas mereka,” paparnya
Alyth menambahkan kajian yang ada di dalam Perkapolri No. 9 tahun 2008 tersebut. Dinyatakan jika massa berlaku anarkis sekalipun tidak boleh ditangani dengan cara melukai ataupun menganiaya.
“Harus perlu, ada lagi yang diperhatikan oleh anggota kepolisian, proses atau upaya penangkapan itu bertujuan untuk menghentikan anarkisme tersebut, bukan untuk melukai, bukan untuk menyakiti, bukan untuk seoalah-olah diberikan kewenangan untuk melakukan kekerasan terhadap pelaku,” ujarnya.
Pernyataan Alyth tersebut merujuk pada Pasal 23 ayat 1 Perkapolri No. 9 tahun 2008. Dalam pasal tersebut dipaparkan bagaimana pihak kepolisian menangani demonstran terarah dalam ruang lingkup yang disandarkan pada kajian HAM. Berikut poin-poin yang dimaksud.
“Dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum,” katanya.
Mengenai penggunaan kekuatan, Alyth mengatakan jika keberadaan Perkapolri guna untuk mrnghindari polisi melakukan penggunaan kekuatan berlebihan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, terdapat tiga asas yang harus dipahami polisi dan komandan lapangan; asas necesitas; asas proporsionalitas; asas legalitas.
“Pertama, asas necesitas; sebagai tolak ukur; perlukah kekuatan yang dilakukan oleh kepolisian diterapkan dalam suatu kondisi tertentu berdasarkan situasi dan ekskalasi yang terjadi di lapangan. Kedua, asas proposionalitas; ada patokan-patokan terukur yang harus bisa dibaca oleh setiap anggota kepolisian dalam melakukan penanganan. Ketiga, asas legalitas; semua yang dilakukan oleh polisi berada di dalam aturan-aturan hukum yang sudah diatur sebelumnya,” paparnya
Selain itu, melihat kejadian di lapangan beberapa oknum polisi melontarkan kata-kata kasar dan melakukan tindakan represif hingga penggunaan gas air untuk memukul mundur demonstran. Alyth dengan sigap mengatakan, bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan saat tanggal 30 September 2019 lalu karena adanya tendensi emosional.
“Setiap aparat penegak hukum tidak perlu melakukan tindakan-tindakan yang kontra-produktif; anggota tidak boleh emosional, anggota tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang spontanitas; keluar dari ikatan atau formasi pengamanan,” tegasnya.
Alyth menambahkan jika hal ini merupakan sebuah tindakan kontra-produktif. Perlu ada pemberian sanksi-sanksi disiplin terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindakan tersebut. Selebihnya, jika polisi melampaui kewenangan menurut Alyth hal tersebut merupakan pelanggaran HAM.
“Ini dianggap sebagai tindakan yang kontra-produktif dalam Perkaplori No. 9 tahun 2008. Ketidaktaatan anggota terhadap perintah komandan yang di lapangan perlu dilakukan pemberian sanksi-sanksi disiplin. Tindakan polisi yang melampaui kewenangannya, aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan itu sudah melanggar HAM,” pungkasnya. (Gilang/red)