JAKARTA, – Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin banyak menuai kritikkan terutama permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dinilai kurang diprioritaskan. Bahkan masalah tersebut kerap mendapat rapor merah di era Joko Widodo sebelum bersanding dengan Ma’ruf Amin.
Berdasarkan Data Tindak Kekerasan Versi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selama rezim Jokowi berdiri; intimidasi 180 kasus, penangkapan sewenang-wenang 134 kasus, kriminalisasi 74 kasus, pelarangan 375 kasus, dan pembubaran paksa 498 kasus.
Selain itu, KontraS juga mencatat jumlah data pelaku dan korban kekerasan selama kejadian berlangsung.
Pelaku; [1] Polisi (643), [2] Pemda-Jaksa Agung-Pemkot (265), [3] Pejabat Kampus [23].
Korban; [1] Sipil (11.983), [2] Mahasiswa (1.682), [3] Aktivis (275), [4] Buruh (172), [5] Komunitas (94), dan [6] Jurnalis (375).
Staf Biro Penelitian Pemantauan dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar melihat bahwa hal tersebut terjadi karena kecenderungan pemerintah Jokowi yang tidak menjadikan HAM sebagai pertimbangan.
“Sejak 2014, kami sudah melihat kecenderungannya bahwa yang bersangkutan tidak menjadikan HAM sebagai pertimbangan,” ujarnya pada reporter updatenews.co.id, Kamis (07/11/2019)
KontraS mengukur kadar tindak kekerasan yang berlangsung. Mereka melihat dari kejadian pelanggaran HAM berat yang tidak pernah dituntaskan.
“Pelanggaran HAM berat; penuntasannya tidak pernah menggunakan pendekata pro justicia, yang dikedepankan negara selama 5 tahun kebelakang adalah mekanisme non judicial,” ungkapnya
Rivan menyindir soal Papua, ia mengulas jika sebelum jadi presiden, Jokowi berjanji akan membuka akses terhadap jurnalis untuk ke Papua. Ternyata, saat tahun 2015 Jokowi melarang jurnalis asing untuk masuk.
“Pada tahun 2015 ada pernyataan bahwa jurnalis asing tidak boleh masuk; setiap jurnalis harus memiliki surat tugas; ada pembatasan disitu,” tegasnya
Disamping itu, KontraS juga menilai jika Jokowi telah “tersandra” politik oleh tim pendukungnya selama proses pencalonan.
“KontraS melihat Jokowi sebagai salah satu yang tersandra politik oleh orang-orang yang mendukungnya selama dia nyapres di tahun 2014,” jelasnya
Dwi Fungsi Polri
KontraS menyatakan jika kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf merupakan era Dwi Fungsi Polri. Namun, intisari dari Dwi Fungsi ABRI juga dinyatakan belum pupus.
“Sekarang Dwi Fungsi Polri. Sejatinya, Dwi Fungsi ABRI dinyatakan belum pupus,” terangnya. “Ketika 1998 menolak Dwi Fungsi ABRI, bukan berhenti pada pemisahan Polri dan TNI,” tambahnya
Intisari Dwi Fungsi ABRI
Keterlibatan beberapa Purnawirawan untuk mem-back up Jokowi-Ma’ruf dinyatakan sebagai salah satu indikator kebangkitan Dwi Fungsi ABRI.
“Keterlibatan Purnawirawan-Purnawiran di belakang dua calon kemarin; masih ada nilai-nilai yang kita tolak sebelumnya, itu soal Dwi Fungsi ABRI,” ungkapnya
Jokowi dinyatakan gagal memahami makna reformasi 1998; seolah-olah berhenti pada penolakan Dwi Fungsi ABRI yang menyatakan pemisahan antara TNI dan Polri.
“Seolah-olah penolakan Dwi Fungsi ABRI hanya berhenti sampai pemisahan antara TNI dan Polri saja, sementara nilai-nilai itu terus menjelma sampai hari ini” sesalnya
Pelanggaran Aturan Hukum Oleh Polri
Terkait keberlangsungan aksi massa pada periode 23-30 September, bahkan ada beberapa aksi yang dilangsungkan setelahnya, KontraS menilai banyak restriksi dari Polri di dalamnya.
KontraS menilai jika yang dilanggar bukan hanya Perkap, melainkan juga Undang-undang.
“Jangankan Perkap, di tingkat Undang-undang pun mereka tidak menaati. Kebebasan berpendapat adalah haknya warga negara,” terangnya
Bicara mengenai represifitas aparat selama bertindak, KontraS menekankan jika aparat tidak mengindahkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai patokan utama.
“UU No. 39 tahun 1999 juga enggak dijalankan untuk menjamin keberlangsungan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat,” lanjutnya
KontraS menyayangkan jika aparat kepolisian terlalu mengedepankan asas diskresi. Polisi sebagai penegak hukum bertendensi untuk melakukan penafsiran.
“Kalau polisi mengedepankan prinsip diskresi; ada kesewenangan mereka menafsirkan itu; alasannya yakni entah situasi mendesak atau darurat lah,” ungkapnya
Mengenai diskresi, hal tersebut dinilai sebagai salah satu kunci polisi melangkahi aturan yang tertera pada setiap Perkap yang berlaku.
“Kata diskresi itu menjadi kata kunci untuk polisi melakukan semuanya yang melewati Perkap,” jelasnya
Beberapa penjelasan juga ditambahkan; polisi dididik untuk tahan di lapangan dan menjadi pelindung kebebasan berekspresi.
“Mereka dididik untuk tahan di lapangan, bukan dididik untuk melakukan aksi. Selebihnya, untuk melindungi kebebasan berekspresi warga negara,” pungkasnya. (Gilang/red)