TANGERANG – Bicara dongeng dan cerita rakyat, dalam konsep milenial, hal itu terbilang tabu. Tapi tidak untuk Budi Sabarudin, yang menjuluki dirinya sebagai pendongeng keliling. Ia mendongeng untuk anak-anak yang ia nilai termarjinalkan.
“Segmentasi-segmentasi penonton saya anak-anak pemulung, nelayan-nelayan miskin, atau anak-anak yang tinggal di dekat pembuangan sampah,” ungkap Budi pada updatenews.co.id, Selasa (12/11/2019)
Menurutnya, anak-anak di perkotaan lebih banyak mendapatkan literasi lewat media sosial ataupun media massa. Dongeng menjadi sebuah hal yang tabu di mata mayoritas anak-anak perkotaan.
“Audiens disana menerima dongeng itu lebih terbuka, kalau di perkotaan mereka agak berjarak dan terkesan asing dengan dongeng,” lanjutnya
Ia berasumsi bahwa anak-anak di tempat yang dinilainya marjinal sulit untuk mendapatkan hiburan, terlebih yang sifatnya kultural dan literasi.
“Kalau orang-orang terpinggirkan hiburannya apa sih? Saya ingin menawarkan hiburan-hiburan yang berkualitas,” ungkapnya
Dongeng-dongeng yang Budi bawakan selalu ditekankan pada kajian moral dan nilai. Ia menganggap bahwa audiens akan menerima dengan sudut pandang dan implementasi yang berbeda-beda.
“Dongeng itu mengusung pesan-pesan dan nilai moral, untuk itu tergantung audiens untuk menerima dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” cetusnya.
Budi percaya bahwa dongeng merupakan salah satu bentuk konseling dan stimulan yang baik, seperti dirinya yang selalu mengkaitkan dongeng dengan realitas yang ada. Ia mencontohkan kisah kepemimpinan Fir’aun.
“Salah satu dimensi dalam cerita Fir’aun, bagaimana konteksnya? Idealnya mereka meniru kepempimpinan para Nabi dan Wali. Role model pemimpin seperti itu sudah tidak ada,” katanya
Kurikulum 2013 yang dinilai sebagai titik balik masyarakat industrial. Budi menegaskan jika manusia tidak bisa disamakan dengan mesin.
“Benteng terakhir itu ada di dunia pendidikan, semua berkaitan dengan kurikulum, dan manusia tidak bisa disamakan dengan mesin,” tegasnya
Bagi Budi, kehadiran dongeng mampu menjadi penyeimbang dunia yang terkesan instan dam materialistis.
“Dongeng hadir sebagai penyeimbang atas dunia yang instan dan materialistis,” pungkasnya
(Gilang/Red)