TANGERANG – 54 tahun berlalu, para tahanan politik (tapol) sisa-sisa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) 1965 atau Gerakan Satu Oktober (Gestok) masih bernafas dipilar-pilar kemanusian yang belum terselesaikan. Hal ini sering menuai kontroversi di kalangan elit maupun akar rumput tentang kebenarannya. Tak heran, terkadang banyak yang mengkait-kaitkan perihal ini dengan urusan politik. Tag line yang sering muncul di awal Oktober, yakni “Bahaya Laten Komunisme”.
Bicara tentang Gestapu, banyak yang bertanya-tanya tentang perihal status kemanusiaan. Apakah ini merupakan sebuah kemenangan atau tragedi kemanusiaan atau mungkin tepatnya genosida?
Menurut catatan M.C. Ricklefs melalui buku A History of Modern Indonesia (1991), suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Beberapa sumber mengatakan, korban jiwa terdiri dari siapa saja yang menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), simpatisan, underbouw, dan sukarnois. Beberapa sumber mengatakan, selain dibunuh banyak yang diasingkan ke Pulau Buru dan menjadi tahanan politik.
Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam Counter Revolutionary Violence (1973) mencatat, Pembantaian besar-besaran di Indonesia 1965-69 memberikan demonstrasi AS yang paling mengesankan. Di mana secara politis, pembantaian dianggap sebagai hal positif. Selama pertumpahan darah kontra-revolusi, pada jumlah minimum terdapat beberapa ratus ribu pria, wanita, dan anak-anak disembelih secara singkat secara darah dingin, dengan perkiraan mati rasa.
Campur Tangan Yankees
Ditengah pergolakan perang dingin antar dua kutub terbilang membabi-buta pertarungan sengit antara beruang cokelat dan burung elang. Ada di pihak manakah Indonesia dipertengahan 1965?
Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan sebuah hari kiamat bagi kaum kiri dan simpatisannya. Dilansir dari Majalah San Fransisco Examiner edisi 20 Mei 1990, Joseph Lazarsky wakil kepala Central Intelligence Agency (CIA) mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto.
“Kami memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus ditangkap,” kata Lazarsky.
“Angkatan bersenjata memiliki ‘daftar tembak’ yang berisi sekitar 4.000 sampai 5.000 orang. Mereka tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan.” Lanjutnya
Ikut campur tangan Amerika Serikat dengan CIA-nya dinilai dari diamandemennya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pengesahan undang-undang tersebut disinyalir sebagai keran terhadap modal asing. Dilihat dari awal mula pendirian PT. Freeport Indonesia di Papua tahun 1966. Terlebih, PT. Freeport Indonesia merupakan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di tengah kondisi gejolak kutub kanan dan kiri.
Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Langit Kelabu se-Kota Tangerang
Kota Tangerang; sebuah kota di bagian timur Provinsi Banten; terkenal dengan ke-Islaman dan santriisme-nya. Terlebih, kota ini merupakan sebuah tempat urban dan penunjang daerah yang sebentar lagi bukan ibu kota, yaitu DKI Jakarta. Segala jenis elemen masyarakat disini beragam mulai dari etnis sunda, jawa, tionghoa, dan sebagainya; sewajarnya tempat urban.
Pemerintah Kota Tangerang memberikan julukan kota “Akhlakul Karimah” pada Kota Tangerang. Akhlakul Karimah sendiri memiliki arti akhlak yang baik atau terpuji. Seperti ada semangat kebaikan yang digelorakan untuk membangun pribadi Kota Tangerang. Akan tetapi, apakah gelora kebaikan tersebut dirasakan oleh korban maupun tahanan politik Gestapu 1965 di Tangerang?
Salah seorang warga Cikokol, Kota Tangerang, Bedjo Untung yang juga ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, ia tidak merasakan sifat Akhlakul Karimah Kota Tangerang sedari 1971. Dirinya mendekam di Lapas Kelas 1 Kota Tangerang. Momen tersebut menggoreskan mimpi buruk di sepanjang masa mudanya, walaupun ada beberapa orang lain yang bernasib sama dengannya.
“Saya yang tahu presis, saya berada di Tangerang sejak tahuh 1971 sampai 1979, sebagai tahanan politik untuk kerja paksa di wilayah ini,” ujar Bedjo menunjuk ke arah belakang Taman Gajah Tunggal, Kota Tangerang
Menurut ketarangannya, di seberang Taman Gajah Tunggal; dulunya kamp kerja paksa; disebut-sebut sebagai area-2, di sebelah kanannya merupakan area-1.
“Di seberang situ namanya area-2; memiliki luas sebesar 60 Hektar dan di sebelah kanan disebut area 1; itu ada lahan seluas 110 Hektar, itu dijadikan sebagai kamp kerja paksa bagi orang-orang yang dituduh PKI,” terangnya
Bedjo menaksir jumlah tahanan yang berada di Kota Tangerang, semua pindahan dari Rutan Salemba; “Saya taksir; sejumlah 6,000 orang; dengan asumsi yang di Salemba sekitar 10,000 dipindahkan kemari karena sudah terlalu penuh, secara bergelombang. Ada yang nanam padi, nanam jagung, ketela, sekaligus peternakan ayam, ikan, kerbau, kemudian kambing,”paparnya.
Namun sayang, semua hasil kerja tapol dikuasai oleh tantara. Bedjo terlihat geram saat ia memaparkan bagaimana represifitas tantara saat itu; ia dan yang lainnya dikontak secara fisik. Hasil kerjanya pun tak diupah dan makan yang mereka dapat pun terbilang tidak layak.
“Semua hasil kerja dari tapol, itu dikuasai oleh tantara. Nah, karena dulu kami sebagai tapol; tidak punya hak menjawab ataupun melawan; itu kami digebuk, disiksa, dan dipaksa untuk bekerja. Kami tidak diupah dan tidak diberikan makan secara layak,” jelasnya dengan nada bicara Bedjo geram
Bedjo menambahkan rasa geramnya saat ia mengingat apa yang ia dan tapol lainnya makan, seakan lukanya ditabur garam; “Saya masih ingat, saat pertama kali saya masuk, paginya, kami cuma dapat bubur; itu hanya air saja; mirip seperti air tajin (air rendaman beras). Karena, saking banyaknya tahanan politik, bubur dikasih air sebanyak-banyaknya, mungkin berasnya hanya satu sendok barangkali,” ujarnya.
Site Plan Kota Tangerang
Selain itu, Bedjo juga bilang, sebagian side plan Kota Tangerang merupakan hasil kerja dari tapol. Sebelum dijadikan bangunan, ada lahan pertanian yang dikelola oleh tapol saat itu. “Semua side plan ini; itu dibuat oleh tapol, dulunya masih berbentuk lahan pertanian,” tegasnya
Pada umumnya, lahan pertanian sangat membutuhkan kesuburan dan kegemburan tanah, terlebih kadar air yang mencukupi. Bedjo mengaku jika pembukaan lahan tani dilakukan oleh tapol dengan tangan kosong; menggemburi dan menyuburkan tanah yang tandus.
“Dulu, area 1 dan area 2 itu tandus, pertama saya datangi, itu dulu ditumbuhi rumput-rumput liar berduri, tapol disuruh untuk membuka lahan itu tanpa peralatan; hanya tangan kosong saja,” katanya sembari menunjukkan bekas kapal di telapak tangannya.
Keberadaan intelektual yang dituduh PKI pun, dimanfaatkan oleh tantara dalam melaksanakan site plan. Semua tapol dipaksa menyuburkan daerah terkait; seperti halnya cacing yang secara alami menyuburkan tanah.
“Dari tanah yang tandus itu bisa dirubah oleh tapol jadi daerah subur. Tapol itu ada banyak insinyurnya juga; lulusan dari Moskow, ITB, UI; sehingga memanfaatkan kali Cisadane untuk mengairi lahan tandus,” terangnya.
Tidak sepenuhnya tangan kosong, penggunaan pompa diesel masih dapat ditolerir. Nantinya, air akan dialiri ke tanah-tanah yang dinilai gersang dan tandus; disulap menjadi produktif; “Itu air disedot pakai pompa, saya masih ingat, ada dua diesel air disedot, ditampung, kemudian dialirkan ke saluran tersier hingga masuk ke area 2. Itu luar biasa, yang tadinya gersang, sekarang jadi subur,” jelasnya.
Agenda Bertahan Hidup
Banyak dari tapol disuruh menanam padi dan hasil pertanian lainnya, Bedjo menyayangkan, tapol tidak bisa menikmati hasil kerjanya. Maka dari itu, ia mengatakan jika mereka hanya bisa makan apapun selain dari hasil tani yang ada. Jika ada sebagian yang diambil tapol, katanya akan dipukul.
“Meskipun banyak padi, tapol tidak menikmati, karena kata penjaganya nggak boleh, ketahuan bisa dipukul,” terangnya.
Dalam rangka untuk bertahan hidup, Bedjo dan yang lainnya memanfaatkan hewan-hewan lain; sumber makanan selain dari hasil pertanian dan ternak. Dengan lugas, ia menyebutkan jenis hewan apa saja yang ia dan tapol lain makan di kamp kerja paksa karena kurang makanan.
“Nah, karena kekurangan makanan, seringkali tapol memanfaatkan hewan lain; misal ular, tikus ‘cindil’; nyari di pematang-pematang gitu, kami malah jadi lebih kuat setelah itu. Selain itu, makan keong racun juga; itulah dalam rangka untuk survive,” papar Bedjo sambil menatap ke arah kali Cisadane.
Tangerang Kota Penjara
Di Kota Tangerang, terdapat 8 penjara; Lapas Pemuda, Lapas Wanita, Lapas Kelas I, Lapas Kelas I A, Lapas Kelas II A, Lapas Anak Pria, Lapas Anak Wanita, LPKA Kelas I. Presiden Soekarno sudah merancang kota ini sebagai salah satu lembaga pemasyarakatan terbesar se-Asia Tenggara. Namun, hal ini memiliki kaitan dengan kamp kerja paksa; area-1 dan area-2.
“Hubungannya dengan area 1 dan area 2 yang dijadikan kamp konsenterasi, karena tanahnya luas, makanya diperuntukan untuk penjara, di mana mereka bekerja secara paksa,” terang Bedjo
Bedjo menambahkan cerita pada reporter updatenews.co.id jika tanah-tanah penjara itu dulunya milik Tionghoa (Pao An Tui); Konon, tanah itu milik tuan tanah Tionghoa (Pao An Tui) yang disita tantara, dulu banyak orang-orang kampung yang menyewa tanah tersebut.
Namun, sesuai pengakuan Bedjo; warga sekitar yang menyewa tanah tersebut tidak diperbolehkan berinteraksi dengan tapol. Hanya saja, pada hari-hari tertentu, tapol dan warga bisa berinteraksi. Hal tersebut selalu ditekankan oleh tantara terhadap warga sekitar. Bedjo dan beberapa tapol yang lainnya berjualan rumput.
“Pada hari-hari tertentu, kami bisa berinteraksi dengan mereka. Saya juga berinteraksi dengan mereka dalam rangka berjualan rumput; untuk survive. Kami berjualan rumput, kami panggul dan salah satunya saya jual kepada orang yang punya kuda; dari situ kami barter dengan garam, gula, ada nasi juga,” jelas Bedjo
Ide Tangerang Sebagai Memorial Park
Sepanjang obrolan Bedjo dengan reporter, sebagai korban ia menginginkan jika setiap tempat yang ia tunjuk sebagai (bekas) kamp kerja paksa sebagai tempat pariwisata. Baginya, tolok ukurnya adalah amanat Komnas HAM dan International People’s Tribunal untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia saat tahun 1965.
“Dengan ini saya tertarik, dalam rangka ingin meningkatkan pariwisata Kota Tangerang, supaya lokasi kamp konsenterasi bisa dijadikan memorial park, seperti di Dresden, Guang Ju, kemudian di Jeju, tempat dulu pembantaian orang-orang yang dituduh kiri oleh Amerika, itu sekarang menjadi tempat-tempat wisata,” saran Bedjo dengan ide tentang edukasi kemanusiaannya
Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah ide cemerlang bagi Pemerintah Kota Tangerang untuk mendompleng pariwisata, khususnya yang bertema tentang tragedi kemanusiaan 1965. Sebagai saksi, ia mengatakan jika tragedi tersebut pernah terjadi, tidak bisa dipungkiri.
“Ini kesempatan baik untuk meningkatkan pariwisata, pemerintah Kota Tangerang harus bisa menjadikan Kota Tangerang ini sebagai tempat wisata kemanusiaan, tidak bisa dipungkiri, dulu di tempat ini pernah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ini sudah menjadi keputusan Mahkamah Internasional,” usul Bedjo [tersenyum]
Ia menambahkan, dengan membandingkan kosep Taman Gajah Tunggal yang menurutnya hanya untuk promosi produk pabrik. “Ini harus dijadikan, sekarang ada Taman Gajah Tunggal, ini nggak ada misinya,pesannya cuma men-introduce tentang pabrik ban; nggak ada nilai-nilai sejarahnya,” katanya.
“Jangan alergi dengan mantan tapol, ini dalam rangka pelurusan sejarah, kita tidak boleh membungkus kebohongan,” lanjutnya.
Jika memang bisa, Bedjo mengusulkan bentuk-bentuk kerya seni seperti; patung, mural, ataupun mural. Ia mau setiap karya seni itu mengilustrasikan kejadian dan bentuk represifitas aparat saat menangani para tapol di Tangerang.
“Saya mengusulkan, nanti di dalam memorial park itu ada ilustrasi; apakah itu berupa patung, mural, atau diorama; bagaimana dari tahanan Tanah Tinggi; kami dibariskan, kalau jalannya sempoyongan; kami ditendang, dan tantara dengan laras panjangnya,” usulnya [ditegaskan dengan gestur]
Selain penjara dan Taman Gajah Tunggal, ternyata skate park juga pernah dijadikan sebagai salah satu tempat kerja paksa tapol 1965. Mungkin akan jadi sesuatu yang mengherankan jika didengar oleh para skaterboarders.
“Itu, ada perapatan dekat Kodim itu; nggak boleh masuk, sekarang jadi skate park. Di situ dulu ada sawah yang sampai sekarang itu ada kolam menggenang, itu bagus kalau dilestarikan. Skate park bisa dijadikan tempat memorial juga, ini dalam rangka untuk mengungkap kebenaran terus,” papar Bedjo [sedikit tertawa]
Pesan Bedjo Untung untuk Pemkot Tangerang
Ditengah maraknya kabar distorsi sejarah dalam kurikulum sejarah di tingkatan sekolah menengah, Bedjo dengan sigap meminta reporeter mencatat keinginan dan usulnya, yakni; membuka diri atas sejarah alternatif. Ia menjadikan transparansi dokumen keterlibatan Amerika Serikat sebagai salah satu indikatornya.
“Pemerintah Kota Tangerang harus sudah mulai membuka diri dengan sejarah alternatif. Berilah kesempatan bagi anak didik untuk membuka pustaka diluar versi resmi pemerintah. Ini sudah berlangsung 54 tahun Amerika sudah membuka dokumen rahasianya; mereka memang terang-terangan merekayasa,” tegasnya
Bedjo menambahkan jika YPKP 1965 – Tangerang sudah menemukan bukti terkait siapa yang memberontak; “kami sudah menemukan novum; 65, bukan PKI yang berontak justru Soeharto sendiri lah yang berontak; mengkudeta Bung Karno dan bekarjasama dengan CIA,”
(Gilang/Red)