TANGERANG – Meskipun Orde Baru sudah runtuh, tetapi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa belum bisa menikmati hak-haknya secara penuh sebagai Warga Negara. Di sana-sini mereka masih diperlakukan sebagai “kaum liyan” di Negeri tempat kelahirannya.
Memang ada perkembangan maju pasca reformasi. Beberapa aturan diskriminatif di era Orde Baru, seperti Inpres Nomor 14 tahun 1967, yang memberangus agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia, dihapuskan oleh Presiden Abdurrahma Wahid. Lalu keluar Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 yang mengakui agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tionghoa sebagai Hak Azasi Manusia.
Sebelumnya, di era pemerintahan Habibie keluar Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penhentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan PemerinPresid
Kedatangan Kaum Tionghoa ke Nusantara
Sebetulnya, tidak ada data resmi tentang kapan orang Tionghoa pertamakali menginjakkan kakinya di Nusantara ini. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat maupun yang disimpan di berbagai kraton dan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad ke IX, yaitu pada zaman dinasti Tang, untuk berdagang dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera, teh, alat-alat pertukangan, pertanian dan sebagainya.
Sementara kekerasan terhadap ras Tionghoa sudah dimulai dari masa pemerintahan kolonial, yaitu tahun 1740 di Surakarta, Jawa Tengah. Vereenigdee Oostindische Compagnie (VOC) telah memulai politik devide et impera atau politik adu domba untuk menyingkirkan kaum Tionghoa dari produksi ekonomi.
Pada Oktober 1740, seperti yang ditulis Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi pemberontakan petani Cina. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota. Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para pemberontak.
Kecurigaan dan paranoia orang Eropa serta pribumi membuat kondisi memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa.
Adrian Volckanier Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji.
Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan.
Kedatangan Kaum Tionghoa ke Tanah Banten
Kesultanan Banten yang berdiri sekitar 1526-1813 Masehi menyambut hangat bangsa pendatang dari berbagai belahan dunia. Bangsa-bangsa pendatang itu hidup berdampingan di Banten Lama. Seperti ditulis portal Bantenologi, pedagang-pedagang Eropa (Denmark, Perancis, Inggris, Portugis, Belanda) mendapatkan izin dari Sultan untuk mendirikan barak (loji) perdagangan mereka yang dapat menampung ratusan para pegawai Eropa bekerja dalam perusahaan dagang mereka.
Demikian pula orang Keling (Tamil), Benggala, India, Arab, Persia, Indocina, Melayu, dan Moro mendirikan komplek perumahan mereka karena mendapatkan izin dan perlindungan Sultan
Berbagai suku yang berasal dari Nusantara juga tinggal di wilayah Kesultanan Banten ketika itu, orang Bali, Jawa, Madura, Aceh, Bugis, Mandar, Makassar, Palembang dan Lampung karena Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan kesultanan Banten.
Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi asset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai ‘mesin uang Kesultanan’ selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.
Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa.
Dengan demikian, sikap Kerajaan Banten yang multi-kultural telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa pendatang, termasuk Tionghoa. Sebagai bentuk kedekatan Tionghoa dan masyarakat asli Banten, berdiri vihara tua, yaitu Vihara Avalokiteswara. Vihara itu sudah ada sejak 1652 masehi dan masih bertahan hingga sekarang.
Ketegangan Rasial di Banten
Tidak hanya di tahun 1740, di era pasca kemerdekaan, kaum Tionghoa juga menjadi salah satu sasaran kaum bumi putera. Bulan Mei-Juli 1946, banyak kaum tionghoa atau cina benteng yang terbunuh dan terisolasi. Motifnya, yakni pemberangusan organisasi Pao An Tui, salah satu organisasi paramiliter kaum Tiong Hoa yang menjadi pelindung harta partikelir Tionghoa saat itu; sekaligus counter dari Kin An Tui, organisasi Tionghoa Pro-Revolusi 1945.
Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946, sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak; 200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi lebih dari 7 juta rupiah. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna mencari tempat aman.
Pada tahun 1998, tepatnya Mei 1998, meletus kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya. Kerusuhan itu dipicu oleh krisis ekonomi dan ketimpangan yang kian melebar. Banyak keturunan Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan, karena dianggap kelompok sosial yang diistimewakan di era Orde Baru.
Ternyata kerusuhan itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menjalar hingga ke wilayah Tangerang, Banten. Budi Satiana (49) menjadi salah seorang saksi sejarah kelam itu, khususnya yang terjadi di Balaraja, Kabupaten Tangerang.
“Dulu, di rolling door rumah saya, kalo nggak ditulis Allah – Muslim, mungkin rumah saya sudah dijarah dan kakak perempuan saya diperkosa, ya namanya juga habis krisis moneter, valuta asing naik, pengaruh nilai ke rupiah juga naik,” kata Budi pada reporter UpdateNews.co.id, Selasa (26/11).
Dia menuturkan, kerusuhan rasial di Tangerang berlangsung meluas hingga ke pinggiran, apalagi karena banyak orang Cina Benteng.
Tidak hanya serangan fisik, banyak orang Tionghoa di Tangerang dilarang melakukan kegiatan ekonomi dan politik ditempat tinggalya.
Sebetulnya, kalau menengok sejarah, ketengahan rasial dengan Tionghoa pernah terjadi di masa Revolusi Agustus 1945. Seperti dicatat Ravando Lie dalam artikel di historia.id, Achmad Chaerun, Bapak Rakyat Tangerang, antara bulan November hingga Desember 1945, orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Sepatan, Mauk, Kronjo, dan Kresek, bersama-sama dengan para pegawai sipil Tangerang, melarikan diri ke Kota Tangerang, mengingat daerah-daerah di luar Kota Tangerang sudah dirasa tidak aman. (Gilang/red)