TANGERANG – Tanggal 1 Desember, di banyak media sosial, orang-orang berucap #DecemberWish atas resolusi baik yang mereka harapkan. Namun, hal apakah yang terjadi di tanggal 1 Desember 58 tahun yang lalu di tanah cendrawasih? Kira-kira, apakah #DecemberWish juga berlaku untuk tanah cendrawasih 58 tahun yang lalu?
1 Desember 1961 merupakan sebuah momen sakral bagi Papua Barat, di mana bangsa Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya atas Belanda. Pemerintah Indonesia kerap kali menyebut tanggal 1 Desember sebagai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM), apakah benar begitu roma-romanya?
Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw berujar jika polisi “tidak memberikan ruang untuk melakukan kegiatan tersebut.”
Menurutnya, hal itu merupakan sebuah “ancaman keamanan” tanpa sebuah alasan spesifik atas redaksi ancaman yang dimaksud.
Deklarasi Kemerdekaan
1 Desember bukanlah hari ulang tahun OPM, melainkan sebuah hari (upaya) kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal tersebut dinyatakan langsung oleh Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. Baginya, 1 Desember 1961 merupakan sebuah bentuk deklarasi Papua Merdeka berkat dorongan dari Belanda dan beberapa tokoh Papua.
“1 Desember itu hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda mengumumkan embrio negara. OPM berjuang untuk pengakuan itu,” katanya, Selasa (12/11) seperti dikutif dari Tirto.id
Tak lupa, Filep Jacob Karma selaku aktivis kemerdekaan Papua Barat juga ditangkap pada 1 Desember 2004 atas pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura dengan tuduhan pengkhianatan kepada negara. Saat itu pun pidatonya terdengar lantang dengan motif membangkitkan nasionalisme Papua.
Filep Jacob Karma dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang berpidato, “Di Jawa, orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kita orang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, sobat kau datang.”
Alhasil, dirinya dipenjara selama 15 tahun, hal ini pun menuai protes internasional. Amnesty Internasional dan Human Rights Watch juga melayangkan protes atas penangkapannya.
Dilansir dari Filep Karma, Jailed for Raising a Flag: Amnesty International (2011), ia ditetapkan oleh Amnesty Intrnational sebagai tahanan keyakinan.
Papua di Kacamata Sejarawan
Bicara Papua, tentunya tidak jauh dari UU No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing, sebuah undang-undang yang menyambut kedatangan investasi asing sekaligus PT. Freeport Sulphur. Hal tersebut dinilai syarat akan kepentingan Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya ditelisik melalui New York Agreement 1962.
Ketua Masyarakat Sejarawan Banten, Radjimo Sastro Wijono meyakini jika ada perubahan peta politik sejak kepemimpinan Soeharto atau Orde Baru. Melalui produk hukumnya, rezim ini mem-back up AS dalam melancarkan manifestasi bisnisnya, terutama Gunung Ersberg sebagai incaran utamanya.
“Perjalanan berubah saat 1965, kemudian memunculkan Orde Baru dan kita ketahui bersama, produk UU No. 1 Tahun 1967 dibikin untuk menjual sumber daya alam sini. Prinsipnya untuk mendatangkan investor. Salah satu yang paling diincar di Papua itu kan gunung Ersberg yang dikenal sebagai PT. Freeport,” ujar Radjimo pada reporter UpdateNews.co.id, Minggu (01/12)
Menurutnya, PT. Freeport Sulphur didirikan tanpa seizin kepala wilayah konsesi adat . Hal itu dinilai sangat mungkin untuk terjadi, jika pun ada izin ia memastikan jika kejadian ini syarat akan rekayasa.
“Bahasa simple-nya, orang sudah sangat kepengen banget menguasai wilayah situ. Orang tempatan juga direkayasa seolah-olah setuju. Waktu itu kan juga ada Perpera; diciptakan warga tempatan itu kubu yang sesegera mungkin memberikan izin dari sisi politis maupun sisi adati,” ungkapnya
Perpera disebut-sebut sebagai permulaan terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Hal itu diawali dengan peristiwa perebutan Gunung Ersberg sebagai salah sati tempat paling sakral bagi penduduk sekitarnya. fenomena ini dinilai sebagai penumbuh luka, baik itu dari masa lalu maupun masa kini.
“Pelanggaran HAM di Papua saya kira setelah ada Perpera itu. Kemudian kan bagaimana proses perebutan gunung Ersberg untuk PT. Freeport. Proses hak masyarakat adat enggak diberikan. Gunung Ersberg itu kan sentra kebudayaan mereka; gunung yang disakralkan,” sesalnya
Radjimo ternyata menyesali fenomena perilaku bangsa Indonesia yang ia nilai belum bisa menerima kritik. Hal ini dinilai tendensius mencedarai generasi sekarang maupun kedepan. Menurutnya bangsa ini harus bisa menerima kenyataan pahit sejarah. Karena, pengetahuan bangsa Indonesia di Papua, seolah dikonstruksi bahwa tidak ada pelanggaran yang terjadi.
“itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa, seolah-olah terjadi sesuai aturan. Harusnya semua bisa terbuka lah, kalau salah, ya salah. Ini tantangan kedepan bagi sejarawan dan masyarakat kita; belajar untuk lebih terbuka; belajar untuk lebih menerima kenyataan pahit,” pungkasnya
Papua (Masih) Tuntut Referendum
Deklarasi dan tuntutan kemerdekaan Papua tidak hanya berhenti sampai 1 Desember 2004. Beberapa kelompok Gerakan seperti Front Rakyat Indonesia untuk Papua (FRI-WP) berpartisipasi dalam perayaan 1 Desember di Yogyakarta. Aksi dan perayaan ini merefleksikan kronologi sejarah Papua pasca kemerdekaan Indonesia; 1 Desember 1961; disertai 15 Agustus 1962 (New York Agreement) dan 2 Agustus 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat).
Juru bicara nasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Suhuniap, memberikan alasannya mengapa Papua menuntut referendum. Baginya, hal ini harus disertai landasan yuridis secara hukum domestik Indonesia dan hukum internasional.
“Alasan tuntutan referendum oleh rakyat Papua di teritori West Papua mesti dijelaskan dengan landasan hukum internasional dan hukum domestik Indonesia,” ungkap Ones saat dihubungi reporter UpdateNews.co.id, Minggu (01/12)
Hal tersebut dirasa penting untuk pemerintah Indonesia atas solusi damai; “Ini penting agar penguasa Indonesia dan rakyatnya memahami duduk persoalan, menghentikan konflik, dan mengambil solusi damai,” sambungnya
Menurut Ones, status hukum internasional Papua Barat terkait teritori masih lemah. Keabsahan tersebut ditinjau melalui klaim Perpera 1969, di mana secara resmi Papua menjadi bagian dari wilayah NKRI. Bagi Ones, hal itu hanyalah bentuk rekayasa dengan kecenderungan pembenaran politik.
“Klaim keabsahan Indonesia atas teritori West Papua melalui Pepera 1969, dalam hukum domestik Indonesia dituangkan dengan penuh rekayasa (sekedar pembenaran politik) dan sangat inkonstitusional sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat,” sesalnya
Perpera 1969 makin memperkuat Papua untuk menjadi Irian. Ia merefleksikan UU No. 12 Tahun 1969 tentang Perpera. Ia kecewa dengan rekayasa hukum pada Perpera, terdapat dalih musyawarah (aklamasi) oleh 1,025 wakil adat (Dewan Musyawarah Pepera). Baginya, hal itu adalah sebuah bentuk ketimpangan atas ratifikasi New York Agreement 1962.
“Itu tidak sejalan dengan konstitusional yang dianut UUD tahun 1945 dan menyebabkan ketimpangan terhadap ratifikasi dari New York Agreement 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda,” ungkapnya.
KNPB juga mendapati data jika hanya 0,2% rakyat Papua dipaksa menyetujui Perpera 1969, selebihnya, 99,8%-nya tidak tergabung pada Perpera 1969 dan masih menuntut referendum sebagai solusi atas pengakuan internasional.
“Referendum harus dilakukan karena West Papua memiliki hak hukum substantif atas penentuan nasib sendiri sejak 1969, dan karena Pepera terbukti melanggar persyaratan prosedural yang ditetapkan hukum internasional,” pungkasnya. (Gilang/Red)