SERANG – Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 126 Tahun 2001 merupakan peringatan Hari Nusantara yang bertepatan pada tanggal 13 Desember kemarin. Sehingga, Keppres tersebut berisi penegasan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Demikian hal itu dikatakan oleh Pegiat Lingkungan Bowo Haksa kepada wartawan Updatenews, Sabtu (14/12).
Menurutnya, Indonesia belum bisa melihat potensi negara kepulauan dengan hamparan laut yang sangat luas bisa dipergunakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Hal itu menurutnya terlihat dari beberapa kasus privatisasi laut yang diperuntukannua untuk kepentingan koorporasi dan pemod sebetulnya.
“Itu sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Bowo.
Keadaan demikian, lanjut Bowo, ini menimbulkan sorotan dari aktivis Lingkungan dan Pendamping Nelayan Provinsi Banten.
“Kondisi Pengelolaan laut dan potensinya hari ini sudah sangat jauh dari proses pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan di laut, ini terjadi karena adanya privatisasi laut yang dilakukan koorporasi sehingga keadaan ekosistem laut rusak dan mengakibatkan hilangnya potensi laut sebagai akses pemenuhan kesejahteraan nelayan,” ucapnya.
Bowo menjelaskan, ditahun 2019 tercatat ada sekitar 70 sampai 80 titik pangkalan nelayan yang di gusur dan dijadikan lahan bangunan industri dari timur sampai barat Banten serta beberapa nelayan diintimidasi untuk menjauhi lahan-lahan melaut mereka.
“Jika kita memang benar-benar melihat potensi laut kita hari ini sebagai modal yang potensial untuk kesejahteraan masyarakat maka kenapa negara tidak menjadikan nelayan sebagai tumpuannya bukan malah menjadikan nelayan sebagai orang yang harus diasingkan atas dasar kepentingan koorporasi,” tukas Pegiat Lingkungan dan Pendamping Nelayan tersebut. (Nm/red)