UPDATENEWS – Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT)? Mungkin terdengar awam di tengah demografi dengan segala nuansa budaya ketimurannya. Bagaimana jika hal tersebut berkaitan dengan film? Apakah nantinya akan dihakimi? Atau justru malah menimbulkan rasa penasaran pada khalayak umum?
Anomali terjadi pada tanggal 18 April 2019, khususnya di dunia perfilman Indonesia. Garin Nugroho selaku sutradara terkenal, melalui rumah produksi Fourcolours Film, ia memproduksi sebuah film dengan tajuk Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of my Body) dengan durasi 107 menit. Film ini membingkai sebuah narasi cerita yang pernah terjadi di Banyumas, Jawa Tengah.
Selaku sutradara film ini, Garin Nugroho membingkai sebuah kisah nyata, yakni tentang kisah penari lengger lanang (laki-laki yang menari lengger). Namun, beberapa pihak menilai jika film ini terkesan kontroversial, mereka menilai jika film ini merepresentasikan LGBT.
Walikota Depok Idris Abdul Somad; dilansir dari berita merdeka.com, Sempat Tayang di Bioskop, Wali Kota Depok Larang Film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’, Kamis, 25 April 2019 19:47, ia menilai bahwa film Kucumbu Tubuh Indahku mengandung unsur LGBT dan percintaan sesama jenis. Setelah itu ia mengajukan surat keberatan pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan nomor surat : 460/165-huk- DPAPMK tanggal 24 April 2019.
Bupati Garut Rudy Gunawan; dilansir dari berita detik.com, Bupati Larang Penayangan Film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ di Garut, Senin 29 April 2019, 13:50 WIB. Ia menginstruksikan Kadiskominfo Kabupaten Garut untuk mengganti film Kucumbu Tubuh Indahku dengan film yang lainnya. Sama seperti Walikota Depok, Bupati Garut juga menganggap bahwa film ini berindikasi LGBT.
Tanggapan Garin Nugroho
Sang sutradara mengamini adanya perbedaan pendapat atas film ciptaannya, ia menganggap itu sebagai dinamika belaka. Menurutnya, film ciptaannya pun layak untuk didiskusikan. Namun malah menimbulkan penghakiman hingga munculnya petisi penolakan film Kucumbu Tubuh Indahku kepada KPI.
Seperti yang dilansir melalui kanal YouTube detikcom, Blak-blakan Garin Nugroho: Kontroversi Kucumbu Tubuh Indahku, 2 Mei 2019, Garin mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian berupa penghakiman ini.
“Yang saya kritik dan prihatin adalah penghakiman massa yang tidak dengan menonton filmnya,” ungkap Garin sambil mengatur pola gestur tangan kirinya.
Garin mengatakan, bahwa dirinya ingin mencari sisi lain untuk film karyanya. Ia ingin menggambarkan polemik feminim dan maskulinitas yang biasanya terjadi dikalangan menengah atas, tapi ini juga terjadi dikalangan menengah kebawah di Indonesia, tepatnya di Banyumas, Jawa Tengah. Hal ini merupakan salah satu indikator film karya Garin ini mendapat penghargaan Cultural Diversity Awards 2019.
Walaupun film ini menjadi salah satu bentuk prestasi anak bangsa, ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap sebagian khalayak yang (sempat) menolak eksistensinya. Lantas Garin merasa heran, mengapa film Bohemian Rhapsody yang justru memiliki kesamaan benang merah bisa laku dipasaran? Namun, film Kucumbu Tubuh Indahku sulit diterima ditengah khalayak, apalagi ada bentuk petisinya.
“Kita selalu munafik! Bohemian Rhapsody boleh beredar dimana-mana, tapi yang ini malah diboikot,” sesal Garin.
“Mereka hanya dengan informasi tanpa kajian, tanpa melihat film itu – lalu merasa terancam, merasa ketakutan. Itulah ciri dari abad ini yang harus kita lawan,” tambah Garin.
Menurutnya, penghakiman massa yang terkesan ekstrim mampu menjadi indikator terjadinya tindakan radikal. Dengan lantang ia katakan bahwa hal ini terjadi pada karya film terbarunya.
“Perasaan terancam kalau menjadi ekstrim, itu menjadi perilaku penghakiman massa yang radikal, itu terjadi pada Kucumbu Tubuh Indahku,” tutupnya.
Hujatan Justru Melahirkan Prestasi
Berbagai macam hujatan tidak merundukan ruang prestasi bagi film ini untuk bermanifes. Tanggal 8 Desember 2019, Kucumbu Tubuh Indahku disambut berbagai penghargaan secara di ranah lokal.
Film karya Garin Nugroho ini meraih delapan (8) penghargaan Citra pada acara Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Melingkupi penghargaan film fitur terbaik, sutradara terbaik, dan aktor terbaik. Sutradara terbaik dimenangkan oleh Garin Nugroho dan aktor protagonis film tersebut, Muhammad Khan.
Walaupun sempat tayang di beberapa bioskop indie (alternatif), seperti Cinespace di Kabupaten Tangerang dan Kinosaurus di Jakarta Selatan, film ini akhirnya film ini kembali ditayangkan lagi di bioskop nasional, tepatnya CGV pada tanggal 15 & 17 Desember 2019.
Film ini terinspirasi dari kehidupan Rianto sang maestro lengger lanang. Kisahnya sungguh terbilang kontroversial, khususnya tentang representasi homoerotik dalam tariannya.
Ifa Ifansyah selaku produser film ini berharap, jika prestasi yang diraih Kucumbu Tubuh Indahku mampu mempromosikan kebebasan dalam kerja kreatif di dunia perfilman. Mempertegas harapan kedepannya, ia mengkomparasikannya dengan amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945.
“Kemandirian adalah hak yang tidak dapat dicabut dari semua pencipta; karena itu, kolonialisme harus dihapuskan dalam semua karya seni karena tidak sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan,”ujar Ifa, Minggu (08/12/2019). Seperti yang dikutip dari TheJakartaPost.com.
Kesenian Rakyat dan Perhelatannya
Kemajemukan masyarakat di Indonesia, tidak menutup kemungkinan jika keseniannya pun juga majemuk, Lengger Lanang salah satunya. Kesenian ini muncul dari Banyumas, Jawa Tengah, di mana banyak orang yang masih belum bisa mewajari saat laki-laki menari lengger.
Selaras dengan film Kucumbu Tubuh Indahku, kesenian ini ditampilkan namun seakan menjadi hal baru, bahkan terbilang menimbulkan shock culture. Lantas, apakah kesenian ini termasuk produk baru?
Radjimo Sastro Wijono selaku peneliti sosial dan sejarawan melihat dari kacamata Serat Chentini. Jika dikomparasikan, ia mengatakan jika tarian ini sudah lama adanya, bahkan sejak zaman Pakubuwono VI dan Pakubuwono VII, yakni tahun 1807-1830 sebagai tarian kesuburan (syukuran) masyarakat.
“Dalam Serat Chentini, seperti itu sehingga ini menjadi sebuah kemasan seni yang berkembang di masyarakat, jadi hadir ditengah upacara syukuran masyarakat, hasi buminya berhasil. Yang membedakan dari ritual kesuburan lainnya, lengger lanang ini penarinya adalah laki-laki dengan pakaian perempuan,” papar Radjimo pada reporter UpdateNews.co.id, Rabu (18/12/2019).
Tidak sampai pada era pra-republik, ternyata hingga pertengahan tahun 60-an, tarian lengger lanang juga berkembang menjadi kesenian rakyat. Namun, kesenian ini kerap kali diidentikan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kelompok kesenian yang menjadi tandingan Manifesto Kebudayaan (MANIKEBUD) ini seringkali menampilkan kesenian rakyat sebagai bentuk pernyataan sikap politiknya melalui kesenian rakyat. Banyak jenis kesenian yang ditampilkan.
Yahaya Ismail dalam Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (1972) mencatat jika beberapa kali LEKRA mengadakan pameran seni rupa, seni lukis, dan karikatur di samping mengintensifkan lagi minat dengan ide-ide baru dalam kesenian-kesenian rakyat seperti ludruk, wayang orang, seni tari, dan sebagainya.
Saat Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) 1965 meletus, PKI termasuk LEKRA diberangus militer beserta para kroninya saat melaksanakan coup d’etat; penggulingan PKI, underbouw-nya, simpatisan Presiden Soekarno, dan yang dituduh terlibat. Lengger Lanang beserta kesenian rakyat lainnya juga ikut diberangus kala itu.
“Itu karena rezim Orde Baru menganggap bahwa seni-seni rakyat ini terafiliasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Seperti kita ketahui bersama, PKI dituduh sebagai dalang Kudeta September 1965, walaupun belum diketahui siapa pelaku sebenarnya. Zaman Gestapu kesenian-kesenian itu tidak boleh ditampilkan, salahsatunya lengger lanang,” ungkap Radjimo.
Kucumbu Tubuh Indahku tidak berbahaya untuk didiskusikan. Sebagai orang yang pernah menonton film tersebut, Radjimo meyakini jika tidak ada unsur LGBT di dalamnya, melainkan film ini hanya menceritakan unsur perjuangan batin seorang seniman.
“Garin ketika menampilkan sebuah karya itu ada hal yang dia itu mengingat sesuatu dengan cara yang lirih, ada goresan darah disitu. Selalu begitu, ada tragisme – itu bagaimana menceritakan tentang pergulatan batin Juno (tokoh protagonist Kucumbu Tubuh Indahku) bisa eksis,” tutup Radjimo. (Gilang/red)