UPDATENEWS – Di Indoneseia, embel-embel revolusioner dan marxisme-leninisme kerap kali dianggap dekat dengan ateisme. Sejarah kelam 1965/66 dinilai mampu mengkonstruksi literasi perjuangan bangsa Indonesia. Namun, apakah hal yang sama terjadi pada perjuangan bangsa Amerika Latin? Apakah agama bisa bersanding dengan perjuangan revolusioner.
Sebuah anomali terjadi di Kolombia, tepatnya di Bogota. Seorang imam Katolik bernama Camilo Torres Restrepo mengkiprahkan dirinya dalam garis perjuangan massa. Selain itu, ia juga penganut Teologi Pembebasan sebagai sebuah kajian peranan agama dalam ruang lingkup sosial. Namun, ia mengkomparasikannya dengan kajian Marxisme.
Camilo lahir di Bogota, Kolombia pada tanggal 3 Februari 1929. Ia berasal dari keluarga berada dan berkecukupan. Orangtuanya, Calixto Torres Umaña (ayah) dan Isabel Restrepo Gaviria (ibu) berasal dari kalangan borjuis yang cukup liberal. Hal tersebut memungkinkan Camilo muda untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.
Saat berumur 2 tahun, kedua orangtua Camilo membawa dirinya ke Eropa. Namun, saat di Eropa, kedua orangtua Camilo bercerai. Hal ini menyebabkan Camilo pulang ke Kolombia bersama ibunya pada tahun 1937.
Di tahun 1946, Camilo muda lulus dari sekolah tinggi Cervantes. Setelah satu semester mempelajari hukum di Universitas Nasional Kolombia, ia memasuki Seminari Konsili Bogota. Selama berkuliah, ia tertarik dengan skema realitas sosial. Bersama temannya, Gustavo Pérez, ia membuat sebuah lingkar studi. Sebagai seorang Katolik, ia tertarik pada masalah kemiskinan dan keadilan sosial.
Camilo ditasbihkan sebagai imam Katolik pada tahun 1954. Penasbihan tersebut membuat dirinya harus berangkat ke Belgia untuk memperdalam sosiologi di Universitas Uskup Katolik Leuven.
Akhirnya, munculah sebuah manifestasi karya Camilo yang bertajuk Proletarisasi Bogota. Walaupun karyanya baru dipublikasikan tahun 1987, 21 tahun setelah ia meregang nyawa di tangan tantara Bolivia.
Di tahun 1959, Camilo membangun Fakultas Sosiologi saat bekerja di Universitas Nasional Kolombia. Selain itu, ia juga membangun relasi dengan para pelajar progresif.
Sebagai seorang sosiolog, Camilo juga mendalami Marxisme guna memecah teka-teki struktur kemiskinan di Kolombia. Tidak seperti pada Imam biasanya yang ia nilai hanya bisa meringkuk dalam rutinitas ritual belaka. Dari situ, ia mencoba untuk menjawab ketimpangan yang terjadi pada rakyat Kolombia.
Sebagai seorang yang beragama, ia beranggapan “agama tidak bisa diam melihat penindasan terhadap rakyat”. Ia selalu bertentangan dengan kelompok gereja konservatif, Kardinal Luis Concha. Mereka selalu menganggap tindakan-tindakan Camilo merupakan bentuk degradasi nilai-nilai Katolik dan pengaruh gereja.
Perjuangan Sang Imam Bersama ELN
Dalam Kongres Teologi Episkopal di Leuven, Belgia pada September 1964, Camilo menyerukan agar kelompok-kelompok Kristen bekerjasama dengan kaum Marxis. Keduanya dinilai sebagai penyokong perubahan sosial.
Donald C. Hodges dalam Sandino’s Communism menuliskan pernyataan Camilo tentang dorongan revolusi sebagai salah satu bentuk kewajiban. “Revolusi bukan hanya diperbolehkan bagi orang Kristen, tetapi kewajiban,” kata Camilo.
Camilo menyerukan pembentukan Front Persatuan pada tahun 1964. Baginya, “ini merupakan alat untuk menyatukan klas tertindas, khususnya mereka yang tidak terhimpun oleh partai politik”.
Patrick Larsen dalam Camilo Torres: 40 years after the death of a fighter for Latin American freedom mengutip pernyataan Camilo: “Rakyat harus merebut kekuasaan politik. Front Bersatu mulai mengorganisir aksi, kampanye, pertemuan besar dan pemogokan. Front Bersatu juga mengatur orang-orang di desa-desa, di kampus, dan di pabrik-pabrik,” tegas Camilo.
Pada tahun itu juga, Camilo mengunjungi daerah Santander guna menemui petani dan kaum miskin desa. Selain itu, ia juga membangun relasi dengan Tentara Pembebasan Nasional (ELN), sebuah organisasi revolusioner sayap-kiri Kolombia. Satu tahun kemudian, tepatnya Juli 1965, ia bertemu langsung dengan pimpinan ELN, Fabio Vasquez Castaño.
Setelah pertemuan itu, Camilo diangkat sebagai propagandis dan agitator yang menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner tantara ELN. Ia juga giat dalam pembuatan majalah mingguan, di mana produksi pertamanya mampu terjual sebanyak 45,000 eksemplar.
Rezim Alberto Lleras Camargo yang masih berlangsung pada tahun 1965 terkesan ketakutan dengan ide-ide radikal Camilo dan ELN. Ide-ide itu pun dinilai mampu menstimulus rakyat untuk mendorong kesadaran atas ketertindasan. Akhirnya, banyak yang tertarik pada bentuk skema perjuangan Camilo saat itu.
Akhir Pelayanan Sang Imam
Tentara-tentara Kolombia nampaknya telah mencium gerak-gerak manifesto sang Imam dengan gerilya ELN. Tanggal 18 Oktober 1965, Camilo mulai membumi dengan gerilya lainnya alias melepas jubah pastornya dan bergabung dalam milisi. Ia menyatakan kepada Fabio untuk ditempatkan sebagai seorang prajurit biasa. “Aku tidak ingin menjadi pemimpin, tetapi hanya ingin melayani sampai akhir,” kata Camilo.
Walaupun Camilo seorang Imam besar, ia menolak untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam milisi. Ia saling berbagi makanan dengan para gerilya ELN lainnya. Ia juga mengajari para petani untuk membaca dan menulis, seperti idolanya, Ernesto “Che” Guevara.
Namun, tanggal 15 Februari 1966 menjadi awal dari kabar duka. Camilo tewas di tengah pertempuran pertamanya melawan tantara Kolombia. Kepergiannya diratapi oleh ribuan petani yang menaruh bunga dan salib sebagai tanda penghormatan terakhir.
Patrick Larsen dalam Camilo Torres: 40 years after the death of a fighter for Latin American freedom menuliskan Camilo adalah seorang revolusioner jujur dan ingin mengakhiri sistem yang menyengsarakan juga tak tertahankan bagi kaum tertindas. Ia merupakan contoh baik dari kelas atas yang jijik dengan sistem kapitalis dan memilih bergabung dalam Gerakan revolusioner.
Camilo Torres menjadi salah satu tokoh ternama di tengah corak gerakan sosialisme Amerika Latin. Namanya dianggap menjadi simbol ketakutan bagi kapitalisme beserta kaum borjuis. Apalagi mengenang keselarasan dirinya pada massa di pabrik, sekolah, dan perkebunan.
Pada tahun 1987, ELN dan Gerakan Revolusioner Kiri (MIR) menyatu. Keduanya bergabung dan berganti nama menjadi Tentara Pembebasan Nasional-Perhimpunan Camilista (UCE-LN) sebagai bentuk penghormatan terhadap Camilo Torres. (Gilang/red)