JAKARTA – Banjir yang terjadi pada awal tahun baru 2020, 1-3 Januari dikatakan karena curah hujan yang tinggi. Namun, meningkatnya curah hujan menyebabkan naiknya volume air pada hulu sungai Ciliwung, Bogor, Jawa Barat. Hal tersebut dinilai menjadi indikator terjadinya banjir di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Faktor hujan tahun ini dinilai cukup ekstim, yakni 377 mm. Hal ini dinilai sebagai faktor pendukung atas kondisi geografis yang sudah rusak. Ditambah dengan adanya penyempitan badan sungai.
Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia menilai, kurangnya daya resap air sebagai salah satu penyebab utama. Pada dataran tinggi Bogor yang dilalui aliran sungai Ciliwung ,terdapat banyak bangunan berbentuk vila dan pertokoan. Hal tersebut diyakini menjadi salah satu faktor kurangnya daya resap.
“Selain faktor curah hujan, ada kombinasi faktor lain. Faktor hulu ke hilir sungai Ciliwung, secara garis besar sudah rusak,” ujar Leonard pada reporter UpdateNews.co.id, Senin (06/01/2020)
Menurutnya, geografis yang seharusnya hutan kini diprioritaskan untuk vila dan pertokoan. “Kurangnya daya resap air, penyebabnya kan kurangnya fungsi hutan dan pembangunan vila-vila juga pertokoan,” imbuh Leonard.
Tidak hanya pembangunan yang dijadikan indikator minimnya daya resap air. Terdapatnya tumpukan sampah dan menyempitnya badan-badan sungai juga dijadikan indikator.
Pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat 2 diamanatkan, “Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota”. Namun, Leonard mengatakan jika DKI Jakarta hanya memiliki 7% ruang terbuka hijau.
“Ruang terbuka hijau hanya terdapat 7%, seharusnya minimal 30% sesuai UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Plus, adanya penurunan permukaan tanah akibat adanya penyedotan air tanah. Dari arah Jakarta Utara hingga Monas sudah membentuk cekungan,” ungkap Leonard.
Solusi yang ditawarkan oleh Greenpeace Indonesia, secara komperhensif adalah restorasi bagian hulu sungai Ciliwung. Namun, ia pesimis jika pemerintah bisa melakukan restorasi untuk membongkar bangunan yang terdapat pada hulu sungai Ciliwung guna melebarkan sungai.
“Saya pesimis pemerintah bisa membongkar villa. Padahal itu jadi solusi utama penanganan banjir se-Jabodetabek,” sesal Leonard.
Selain adanya bangunan-bangunan yang terdapat pada hulu sungai Ciliwung. Bicara peningkatan curah hujan, ia juga menyindir keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Hal ini dinyatakan sebagai salah satu penyumbang pemanasan global.
“PLTU bikin emisi karbon yang besar. Pemanasan global memicu curah hujan ekstrim. Tepatnya, terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim. Jelas sekali ini adalah krisis iklim,” tutup Leonard. (Gilang/red)