JAKARTA – Hingga hari ini, Republik Isam Iran masih diselimuti duka atas kematian Jendral Qassem Soleimani. Ia mati dalam sebuah serangan udara yang dilancarkan pada Jumat (03/01/2020) di Bandara Udara Baghdad, Irak. AS telah mengaku bertanggung jawab atas penyerangan Jendral Pengawal Revolusi Iran itu.
Bermunculan tagar di sosial media Twitter yang bertuliskan #WWIII dan #WorldWarIII. Namun, tidakan AS dinilai gegabah atas serangan udara yang menewaskan Jendral Qassem Soleimani itu. Namun, penyerangan tersebut terjadi pasca impeachment atas Presiden Donald Trump oleh parleman AS.
Nostaligiawan Wahyudi, peneliti Timur Tengah Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan jika konflik yang terjadi merupakan bentuk pengalihan isu.
“Yang perlu diketahui dalam relasi internasional, tindakan AS terkesan gegabah. Itu terjadi ketika isu impeachment atas Donald Trump yang dilibatkan oleh parlemen AS. Ini bisa dikatakan sebagai pengalihan isu,” ujar Nostalgiawan pada reporter UpdateNews.co.id, Selasa (07/01/2020)
Disamping itu, ia mengatakan jika banyak elemen-elemen komunitas di AS menentang terjadinya perang antara Iran dan AS. Kepemimpinan Trump dan kondisi perekonomian AS dinilai sebagai salah satu indikator gelombang protes penolakan perang.
Iran dinyatakan memiliki afiliasi akar rumput yang cukup kuat di Suriah, Yaman, dan Lebanon. Hal ini dinilai bukan sebagai putusnya keran pembicaraan diplomatik antara Iran dan AS. “Dalam arti, meskipun Iran memiliki banyak milisi di Suriah, Irak, dan Lebanon, keran pembicaraan diplomatik dengan Iran bukan berarti putus begitu saja,” tambah Nostalgiawan.
Namun, ia menyayangkan tidakan Trump yang menurutnya cukup gegabah. Ia menggambarkan karakter pemimpin dari Partai Republikan terkesan reaksioner. Terlebih, Kasus embargo yang dilakukan Arab
Saudi terhadap Qatar sebelumnya. Melalui Trump, Arab Saudi dikatakan bermain dua kaki. Ditambah lagi, Trump juga berkeinginan untuk mengadakan bisnis senjata di Timur Tengah.
“Kasus embargo yang dilakukan Arab Saudi terhadap Qatar sebelumnya. Arab Saudi, melalui Trump juga bermain dua kaki. Bisnis mereka di Timur Tengah, sebagai karakter dari Republikan, Trump memang ingin bisnis senjata,” jelas Nostalgiawan.
Nostalgiawan menjelaskan jika pengalihan isu juga terfokus pada pasar minyak mentah. Penyerangan Soleimani dikatakan sebagai respon atas kenaikan harga minyak mentah. Situasi tersebut dinilai membahayakan perekonomian AS, walaupun secara umum dunia internasional lebih menyerukan perdamaian antara Iran dan AS.
Peran Soleimani di Timur Tengah dinilai cukup vital, tepatnya bentuk relasinya dengan negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Islam Syiah seperti, Bahrain, Yaman, dan Irak. Bagi Nostalgiawan, erlalu dini jika menanggapi pemberontakan akan dipicu oleh Iran terhadap AS. Relasi-relasi antara Iran dengan negara yang berkaitan dinilai masih dalam batas wajar.
“Terlalu dini jika menanggapi pemberontakan akan dipicu oleh Iran terhadap AS. Jadi, kalau memang ada relasi-relasi, saya kira itu masih dalam batas wajar,” tegas Nostalgiawan.
Penyerangan terhadap Soleimani juga akan membuat relasi yang atar negara-negara Timur Tengah lebih dekat. “Kasus yang terjadi pada Soleimani, saya kira itu lebih membikin relasi dekat dengan negara-negara timur tengah lainnya,” tambah Nostalgiawan.
Relasi antara AS dan Iran dinilai mengalami kemunduran. Terlebih dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan dunia internasional agar AS dan Iran bisa duduk berdampingan. Ditambah serangan yang ditujukan pada Soleimani terkesan mendadak.
“Relasi AS-Iran, di era Trump ini mundur beberapa langkah dari upaya-upaya yang dilakukan agar AS-Iran bisa duduk berdampingan. Penyerangan atau pembunuhan terhadap Soleimani adalah sesuatu langkah yang sangat mendadak,” ungkap Nostalgiawan.
Ditengah ketegangan antara AS dan Iran, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diyakini akan melakukan langkah-langkah untuk perdamaian kedua negara tersebut. Nostalgiawan beranggapan jika hal tersebut dilakukan PBB, semata-mata untuk kestabilan harga minyak dunia.
“Saya kira upaya-upaya internasional, khususnya PBB akan lebih kuat untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak mentah yang sangat tinggi karena akan membahayakan perekonomian dunia,” tutur Nostalgiawan
Tendensi perang antara AS dan Iran, sedikitnya memberikan kecenderungan dampak bagi Indonesia. Nostalgiawan menjelaskan jika dampak yang signifikan akan terjadi pada sektor ekonomi. Titik fokusnya ada pada harga minyak mentah dunia.
Hal tersebut dinilai karena Indonesia masih melakukan impor minyak mentah dunia, walaupun titik dominasinya ada pada impor minyak dari Arab Saudi. Nostalgiawan mengatakan jika kilang minyak di Cilacap, Jawa Tengah belum mampu menunjang pasokan minyak nasional. Hal tersebut dilihat dari ekskalasi yang lebih meluas jika tidak ada perundingan damai.
“Dampaknya untuk Indonesia adalah kenaikan harga minyak dan akan merugikan APBN yang hingga saat ini masih mengandalkan impor minyak, walaupun utamanya dari Arab Saudi. Pembangunan kilang minyak di Cilacap juga belum bisa mendukung untuk pasokan minyak nasional,” tutup Nostalgiawan. (Gilang/red)