UPDATENEWS – Berkaitan dengan kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin terdapat sebuah mitos yang diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain.
Cerita itu oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama tubuy yang merupakan cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi cerita ini mengacu kepada nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten Selatan dan dipergunakan untuk memperingati peristiwa kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin.
Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah Banten dan leluhur para puun suku Baduy.
Dikisahkan dalam cerita tubuy, (cerita rakyat Baduy) Maulana Hasanudin merupakan putra sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk mengislamkan wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu, Maulana Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo dan Mas Lei.
Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan oleh Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan di antara keduanya.
Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya bersedia memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Maulana Hasanudin.
Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang sama-sama sakti ini adalah mengadu ayam.
Ayam Pucuk Umun diciptakan dari besi baja, berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan ayam Maulanan Hasanudin merupakan penjelmaan jin islam,berupa Ayam putih ini berasal dari serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih.
Kedua jenis ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu Pucuk Umun memiliki sifat kuat dan pemberani.
Sementara itu, Jalak Putih kelihatan tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang dimiliki oleh Maulana Hasanudin.
Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat dikalahkan oleh jalak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih kembali kepada wujud aslinya.
Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat kaget dan berseru :
“Ketahuilah Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya merupakan sebagian terkecil dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah kalah, apabila kau sanggup susullah aku”.
Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan Maulana Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama Islam dan memilih untuk memoksakan dirinya dengan berubah menjadi burung beo.
Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan Maulana Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin.
Ketika sedang terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga merasa tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di bumi, burung beo itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun. Setelah dirinya menjadi manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa rakyatnya yang tidak mau masuk Islam dan mendirikan perkampungan baru di daerah Banten Selatan, tepatnya di daerah Lebak.
Berdasarkan cerita ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan tempat Pucuk Umun menjadi burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo melihat hamparan pasir dan berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai Cikeusik, dan tempat Pucuk Umun mendirikan perkampungan baru dinamai sebagai Cikartawana.
Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau cerita rakyat.
Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan bahwa Pucuk Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu keasktian dengan Maulana Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum telah memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang berkuasa di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh karena itu, ia kemudian moksa (nge hyang) dirinya karena tidak mau tunduk kepada Maulana Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.
(Sumber: Facebook Heryadi Bin Syarifudin)