UPDATENEWS, – Dahulu ada seorang gadis. Namanya Badariah. Ia adalah putri sulung seorang saudagar kaya. Wajahnya cantik. Sikapnya sopan dan rendah hati.
Kurang empat puluh hari lagi ia akan menikah. Seminggu yang lalu orang tuannya telah menerima lamaran dari seorang hartawan untuk anaknya yang bungsu.
Hari itu Badariah nampak gelisah. Sejak pagi burung-burung perenjak berkicau-kicauan dihalaman rumahnya. Itu pertanda rumahnya bakal kedatangan tamu penting.
Menjelang tengah hari firasat gadis itu terbukti, ada serombongan orang turun dari kuda. Langkah mereka tampak berwibawa saat memasuki rumahnya.
Badariah tak berani ikut menemui para tamu itu. Ia hanya mengintip dari balik dinding kayu rumahnya sembari mencuri dengar pembicaraan ayahnya dengan para tamu yang datang.
Beberapa saat ia mendengar perdebatan antara ayahnya dan para tamu. Nampaknya mereka sedang membicarakan dirinya.
Hati Badariah berdebar kencang. Benar! Beberapa saat setelah para tamu itu pergi ayahnya memanggilnya keruang tamu.
“Badariah anakku, entah nasib apa yang sedang menimpa kita. Mereka tadi adalah utusan dari calon suamimu. Mereka datang untuk membatalkan rencana perkawinanmu dengan Raden Sambada,” ujar ayahnya.
Badariah kaget, tapi tak sampai membuatnya pingsan. Ia sudah sering mendapat kabar seperti ini. Entah sudah berapa kali para lelaki yang meminangnya ternyata pada akhirnya menggagalkan sendiri pinangan itu.
“Sudahlah ayah, saya tabah menjalani hidup ini. Biarkan saja. Bukankah tidak sekali ini lelaki yang menggagalkan rencana pernikahan yang sudah disepakati?,” ucap Badariah
Ayahnya terharu mendengar sikap anaknya itu. Pada suatu malam, Badariah bermimpi. Seorang kakek yang penuh wibawa mendatanginya dan berkata,
“Hai Badariah, jika engkau ingin mendapat jodoh segera, pergilah engkau seorang diri ke puncak Gunung Pabeasan. Di sebuah batu besar cekung yang engkau temukan disana lakukanlah tapa. Tapa itu harus engkau lakukan empat puluh hari empat puluh malam. Selesai itu, pergilah engkau ke kaki gunung. Cari sebuah pohon lame besar. Di bawah pohon itu, engkau akan mendapatkan tujuh buah mata air. Mandilah engkau pada ketujuh mata air itu. Jodohmu akan datang setelah itu. Pesanku, rawatlah ketujuh mata air itu. Bila kelak ada gadis yang kesulitan mendapat jodoh, suruh mandi ditempat itu. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa segera mendatangkan jodohnya,” jelas kakek dalam mimpinya.
Badariah menceritakan mimpinya kepada orang tuanya. “Ayah dan Ibu,“ katanya,
“Izinkanlah saya membuktikan mimpi saya, dan doakanlah,” pinta Badariah.
Dengan sangat berat, orang tuanya melepasnya. Seorang diri Badariah lalu berangkat ke puncak Gunung Pabeasan. Di atas batu cekung besar yang ditemukannya, ia pun melakukan tapa.
Tapa itu sungguh berat. Banyak godaan yang bisa membuyarkan tapa. Ada ular besar yang melilit tubuh Badariah. Ada harimau yang hendak menerkamnya. Lalu, ada makhluk-makhluk seram menakutinya. Penuh ketabahan Badariah terus bertapa. Akhirnya, ia dapat menyelesaikannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Setelah itu dituruninya gunung. Di kaki gunung dicarinya pohon lamean besar. Ia berhasil menemukannya. Dan benar. Di bawah pohon itu ada tujuh mata air. Badariah lalu mandi di ketujuh buah mata air itu. Setelah itu ia pun pulang.
Aneh, tak lama kemudian, Badariah mendapatkan jodoh. Seorang pangeran dari Kesultanan Banten menjadi suaminya. Sesuai pesan Kakek dalam mimpinya, Badariah lalu merawat ketujuh mata air. Dibuatnya bangunan mengelilingi ketujuh mata air. Lalu dibuat pula penampungan air yang keluar. Seorang pembantu kepercayaannya diperintahkannya menjaga tempat itu.
Kini tempat ketujuh mata air itu berada dikenal sebagai Sumur Tujuh, terletak di Kampung Gintung, Desa Banjarsari, Kabupaten Pandeglang . Keturunan si pembantu, hingga saat ini, menjadi juru kunci, tugas juru kunci adalah sebagai penjaga dan perawat, serta pemberi petunjuk pada orang-orang yang datang untuk mandi dan meminta berkah tempat itu. Para orang tua punya pendapat sendiri tentang kisah yang dituturkan di bawah ini.
Jika seorang gadis berasal dari keluarga kaya biasanya bertubuh gemuk dan gendut, kalau sudah begitu tentu saja tidak menarik pemuda atau lelaki. Dengan dianjurkan bertapa (maksudnya berpuasa) maka tubuh menjadi ceking, dengan mandi di tujuh mata air berarti tubuhnya menjadi bersih seolah-olah sehari si gadis mandi sebanyak tujuh kali. Tujuh mata air artinya tujuh macam jenis cairan untuk menghaluskan dan menyegakan kulit. Kalau sudah begitu tentu banyak lelaki yang tertarik kepadanya.
Peninggalan-peninggalan yang memperkuat cerita tersebut dan dipercaya kebenarannya oleh masyarakat yaitu berupa Sumur dimana Nyi Putri sering mandi disitu, tempat pertapaan Ki Lamuafi yang berupa batu datar ukuran 1 X 1 meter, sebuah Goa tempat dimana Ki Lenggangjaya bertapa, Kuburan Nyi Putri serta sebuah batu yang berbentuk sesosok manusia yang sedang bersujud.
Petilasan-petilasan tersebut sampai saat ini sering dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota dengan berbagai maksud dan tujuan yang beragam. Biasanya mereka yang datang secara berombongan ini adalah untuk mencari karomah dari petilasan tersebut, mereka biasanya berharap karomah untuk peruntungan, dagang dan perjodohan.
Cerita ini adalah cerita yang diturunkan secara turun temurun oleh masyarakat. Awalnya tempat itu berupa semak belukar yang tidak terurus, karena seringnya penziarah yang mendatangi tempat itu, akhirnya ada warga yang putuskan untuk memelihara tempat itu. Dengan modal sendiri ia mulai membersihkan dan membangun sebuah tempat peristirahatan dilokasi ini.
Percaya atau tidak dikembalikan kepada pembaca, penulis hanya merangkum dari berbagai sumber.
(Red)