TANGERANG – Kemunculan superioritas etnis dan kebencian etnis terhadap kaum Tionghoa, disinyalir timbul saat tahun 1740, sejak zaman kolonial disertai gedoran Batavia. Sentimen-sentimen tersebut dimunculkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), tepatnya represi oleh Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier. Namun, hal yang sama juga terulang pada tahun 1967 saat rezim Orde Baru berdiri.
Victor Purcell dan Lea Williams dalam Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Ong Hok Ham menyebut justru pemerintah Hindia Belanda yang punya sentimen besar kepada orang-orang Tionghoa. Ong Hok Ham menulis bahwa sentimen anti-Cina memuncak pada zaman Politik Etis (1900) ketika Belanda merasa perlu melindungi penduduk pribumi terhadap ”kelicinan” Cina.
Tidak hanya itu, pasca tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965, etnis Tionghoa di Indonesia selalu dikait-kaitkan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Seringkali, pemerintah Orde Baru mengkait-kaitkan keterlibatan Mao Tse Tung pada Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) 1965 dengan keberadaan etnis Tionghoa.
Soeharto melarang warga etnis Tionghoa untuk merayakan imlek di muka umum. Tidak ada bunyi-bunyi petasan, tidak ada barongsai, tidak ada angpao, dan tidak ada kue keranjang. Saat itu, Inpres Nomor 16 Tahun 1967 seakan menggambarkan obituari bagi tradisi Tionghoa di Indonesia.
“Kami, pejabat Presiden Republik Indonesia menimbang: bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar,” kata Soeharto dalam Inpres Republik Indonesia nomor 14 tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967 (Inpres 14 tahun 1967).
Soeharto menganggap manifestasi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina merupakan suatu hal yang kurang wajar di Indonesia. Menurut Siew-Min Sai & Chang-Yau Hoon dalam Chinese Indonesians Reassessed, sebelum Inpres nomor 14 tahun 1967 dikeluarkan, pemerintah Orde Baru bahkan ingin agar tidak ada lagi sebutan Tionghoa bagi orang-orang Cina dan kebudayaan mereka.
Ditambahkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 tanggal 28 Juni 1967 dituliskan keluhan pemerintah Orde Baru. “Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah ‘Tionghoa/Tiongkok’ di samping istilah ‘Cina’ yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi,” keluh rezim Orde Baru.
Maka dari itu, semenjak pemerintahan Orde Baru, warga etnis Tionghoa hanya bisa merayakan imlek di dalam rumah masing-masing tanpa barongsai dan petasan tentunya.
Nuansa pernak-pernik merah di sudut kota sempat hilang selama 32 tahun rezim Orde Baru. Terlebih, hari raya imlek yang tadinya merupakan tanggal merah, rezim Orde Baru menghapusnya dari daftar hari libur nasional. Para penganut agama Khonghucu pun juga hanya bisa dilakukan perorangan dan sembunyi-sembunyi.
“Kalau sembahyang kami tetap jalankan, biasanya ya di rumah masing-masing. Perayaan Imlek saat itu kami lakukan dengan sangat sederhana. Yang pasti tidak ada mercon dan barongsai,” kata Oey Tjing Eng, salah seorang sesepuh masyarakat Tionghoa Tangerang.
Selama itu, warga etnis Tionghoa dan penganut ajaran Khonghucu selalu bersembunyi dari represi rezim Orde Baru.
Lepas dari represi rezim Orde Baru, kala itu, etnis Tionghoa bisa bernafas lega. Anomali telah dibuat sedemikian rupa oleh bapak Tionghoa Indonesia sekaligus Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Ia menganggap jika warga etnis Tionghoa berhak mengekspresikan diri dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Pada 17 Januari 2000, Gus Dur Keputusan Presiden (Keppres) No.6/2000, mencabut Inpres No.14/1967. Di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, Imlek menjadi hari libur nasional. Lalu di zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden, Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 06/1967 dicabut melalui Keppres No. 12/2014.
Bermula dari Gus Dur, warga etnis Tionghoa untuk menggelar pertunjukan barongsai, menghias sudut kota dengan pernak-pernik merah, dan menjual perlengkapan untuk hari raya Imlek serta Cap Go Meh.
Sejak saat itu, warga etnis Tionghoa bisa merayakan hari raya mereka. Setiap pasar atau tempat dengan konsep pecinan bisa dengan leluasa diramaikan dengan nuansa Imlek hingga Cap Go Meh untuk 15 hari kedepan. (Gilang/red)