Updatenews.co.id – Tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Panggil saja ia Pram, begitulah sapaan akrabnya di lingkup dunia kesastraan. Tepat 95 tahun, anak asuh ibu pertiwi itu dilahirkan. Ia dikenal dengan 50 karya novelnya yang diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang terbilang paling produktif.
Pram lahir dari keluarga menengah keatas, ayahnya adalah seorang guru dan ibunya seorang penjual nasi. Ia merupakan anak sulung dari 9 bersaudara. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Ia menghapus nama “Mas” dari nama tersebut, hingga tersisa nama “Toer” saja yang ia gunakan sebagai identitas keluarga.
Masa muda awal Pram diisi dengan bersekolah di Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya. Kemudian, ia bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada awal masa-masa revolusi kemerdekaan 1945, ia bergabung menjadi anggota militer di Jawa dan kerap ditugaskan ke Jakarta. Sepanjang karir kemiliterannya, Pram berjalan menggiati kesastraannya. Terlebih, titik penyelesaiannya ada pada masa di mana ia juga ditahan oleh Belanda di Jakarta pada periode agresi militer Belanda II tahun 1948 dan 1949.
Memasuki periode 1950-an, Pram dibebebaskan dari masa penahanannya. Ia memutuskan untuk bergabung ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), salah satu organisasi kesenian sayap kiri di Indonesia. Gaya menulisnya mulai terpengaruh ritme realisme sosialis, bermula dari karya tulis fiksi kritiknya yang berjudul “Korupsi”. Dalam tulisannya, ia coba mengkritik Polisi Pamong Praja (Pol-PP) yang terjerat korupsi. Hal tersebutlah yang menumbuhkan friksi antara dirinya dan Soekarno.
Seperti yang dikisahkan Ajip Rosadi dalam “Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen” dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010), dan “Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer” dalam buku Lekra Bagian dari PKI (2015). Ia merekap transisi perubahan yang terjadi pada Pram semasa kiprahnya.
Di satu sisi, Ajip menyesali keikutsertaan Pram dalam gerakan kiri. Ia merekapnya dalam memoarnya, Hidup Tanpa Ijazah yang menyayangkan kelompok anti-komunis tidak merangkul Pram dan malah menendangnya jauh-jauh.
“Orang seperti Pram yang sudah menjadi pengarang penting di Indonesia, tentu saja akan didekati oleh orang kiri. Mereka akan memanfaatkan pengaruhnya untuk kepentingan politik mereka. Seharusnya kelompok anti komunis mendekatinya agar dia jangan sampai terseret ke kubu komunis. Tapi yang terjadi adalah mereka malah menendangnya jauh-jauh dan dengan demikian membuatnya malah jadi bergabung dengan kubu komunis,” tulis Ajip.
Semasa itu, Pram juga menelisik penyiksaan kaum Tionghoa Indonesia. Mulai dari situ, ia mulai berhubungan erat dengan penulis-penulis asal Tiongkok. Ia membingkai fenomena tersebut melalui rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul berjudul “Hoakiau di Indonesia”.
Pram akan selalu menjadi kritikus yang acuh terhadap mentalitas Jawa-sentrisme. Ia juga terkenal atas usulnya yang menginginkan pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke luar Jawa.
Gempuran Gestok 1965
Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965 merubah segala arah gerak pemerintahan Soekarno, kelompok kiri, dan termasuk Pram, dihukum tanpa diadili oleh pemerintah Orde Baru. Ia diasingkan ke Pulau Buru, disiksa, dan dipekerjakan secara paksa oleh rezim diktator militer tersebut. Selama belasan tahun, hingga tahun 1979 ia dibebaskan dan menjadi tahanan rumah. Seminggu sekali, ia harus melapor ke Kodim Jakarta Timur.
Selama 14 tahun, Pram mendekam sebagai tahanan politik (tapol) karena dituduh terlibat dalam Gestok 1965. Selama masa Orde Baru, ia ditahan pada tanggal 13 Oktober 1965-Juli 1969, Juli 1969-16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969-12 November 1979 di Pulau Buru, November-21 Desember 1979 di Magelang.
Pram dilarang menulis memori lukanya selama masa penahanan di Pulau Buru. Namun, ia masih dapat menyusun serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, 4 seri novel semi-fiksi sejarah Indonesia yang menceritakan perkembangan nasionalisme Indonesia dan sebagian berasal dari pengalamannya sendiri saat tumbuh dewasa.
On The Record versi video dokumenter merekam ungkapan-ungkapan penyesalan Pram terhadap rezim Orde Baru dalam memperlakukan tapol. Ia menganggap, rumah tahanannya merupakan sebuah bentuk negara kecil di mana ia hanya mendapat kebebasan disana.
“Dalam kekuasaan Orde Baru ini saya tidak punya kebebasan. Sebagai warga negara, saya tidak merasa aman. Sehingga, negara bagi saya sekarang ini adalah sekeliling pagar rumah saya, itulah negara saya,” tutur Pram dalam video dukumenter On The Record.
Pram menilai, rezim Orde Baru telah membingkai opini khalayak bahwa dirinya adalah orang yang berdosa. Namun, saat propaganda dosa politik itu ditampilkan rezim Orde Baru, ia tidak pernah merasa berdosa. Baginya, ia hanya menjalankan tugas sebagai warga negara Indonesia, sebagai manusia, dan sebagai pengarang.
“Saya tidak pernah merasa berdosa. Saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai warga negara Indonesia, sebagai manusia, dan sebagai pengarang,” tutup Pram. (Gilang/red)