SERANG – Berbeda dengan yang lain, sejumlah mahasiswi yang tergabung dalam Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) di Kota Serang, Banten peringati valentine, dengan menggelar aksi teatrikal menari serentak, yang bertujuan untuk menolak kekerasan terhadap perempuan.
Tarian tersebut diiringi oleh musik berjudul One Billio Rising (OBR), di depan kampus Untirta Pakupatan. Dalam musim pengiring OBR tersebut, terdengar beberapa lirik yang mengkampanyekan penolakan atas kekerasan perempuan, seperti ‘Perempuan bukanlah barang’, ‘Dunia tanpa pemerkosaan’ dan ‘Lepaskan belenggu (perempuan)’.
Koordinator aksi, Asri Ditia mengatakan aksi yang dilakukan oleh pihaknya merupakan bentuk penolakan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan di dunia, khususnya di Kota Serang.
“Akhir tahun di Banten tercatat ada sekitar 31 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan di awal tahun, kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya anak di Kota Serang ada sebanyak 17 kasus,” ujarnya di sela aksi, Jumat (14/2).
Menurutnya, masih banyak kasus kekerasan perempuan ini dikarenakan budaya feodal patriarki (menganggap laki-laki lebih utama) masih bercokol di Indonesia, termasuk di Kota Serang sendiri.
“Jadi itu semua menurut kami bisa diselesaikan dengan menghancurkan sistem yang membelenggu, yaitu budaya feodal patriarki yang masih mengakar saat ini,” ucapnya.
Dirinya mencontohkan salah satu kasus seperti budaya feodal patriarki yang seringkali ia rasakan dalam kehidupan, khususnya dalam dunia perkuliahan.
“Misalkan, bagaimana orang-orang menganggap bahwa sekretaris dan bendahara adalah tugas yang hanya cocok bagi perempuan. Itu sebenarnya merupakan budaya feodal yang harus dihapus. Perempuan bisa lebih dari itu,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Seruni ranting Untirta, Ega Khoirunnisa, mengatakan aksi yang dilakukan pihaknya merupakan aksi serentak se-dunia. Berbagai negara lainnya, kata Ega, melakukan hal yang sama dalam rangka melawan kekerasan terhadap perempuan dengan menari.
“Jadi ini merupakan ekspresi kami dalam melawan kekerasan terhadap perempuan yang dialami perempuan se-dunia, yaitu dengan menari dan bernyanyi,” ujarnya kepada awak media.
Ega menjelaskan, gerakan OBR tersebut memang bertepatan dengan hari kasih sayang. Kasih sayang terhadap perempuan, lanjut Ega, yang sebenarnya adalah dengan melakukan perlawanan terhadap kekerasan perempuan.
“Kami memandang bahwa kasih sayang terhadap perempuan bukan hanya sebatas coklat, namun juga dengan membangkitkan gelora perlawanan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga mengkritisi bagaimana perempuan banyak yang mendapatkan tindakan diskriminasi dalam dunia pekerjaan.
“Diskriminasi upah juga terjadi pada perempuan. Bagaimana perempuan tani misalnya, mendapatkan upah yang lebih kecil dibandingkan petani laki-laki. Padahal mereka mengerjakan hal yang sama. Ini juga terjadi pada dunia industri,” tukasnya. (Nm/red)