Oleh: Lia Eviyanti
Indonesia tengah diramaikan oleh pro-kontra Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang diusung oleh lima anggota DPR lintas fraksi, mereka adalah Ledia Hanifia (PKS), Netty Prasetyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra) dan Ali Taher (PAN).
Isi dari Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) itu sendiri berisi mengenai ancaman pidana bagi pendonor sperma dan ovum hingga praktik sewa rahim, mengatur urusan rumah tangga dengan serangkaian tugas dan kewajiban untuk suami dan istri, hingga wajib lapor untuk orang-orang yang berperilaku seks menyimpang. Gagasan dasar perumusan RUU ini diungkapkan Netty Prasetyani (PKS) “Untuk melindungi keluarga-keluarga, demi mewujudkan peradaban Indonesia dan Ketahanan keluarga,” vivanews.com
Disisi lain terjadi penolakan oleh berbagai pihak yang kontra terhadap kehadiran RUU ini. RUU ini dinilai menjadi sebuah kemunduran pada suatu negara karena negara dianggap terlalu sibuk mancampuri ranah pribadi hingga mengesampingkan persoalan-persoalan lain yang lebih urgent dan harus segera diselesaikan.
Agama tertentu bahkan di klaim turut ikut campur dalam RUU ini. Agama dianggap tidak perlu masuk kedalam ranah publik, dimana urusan keluarga adalah ranah privasi yang bisa diselesaikan oleh komitmen masing-masing keluarga. Seperti hal nya ketentuan tentang urusan rumah tangga, relasi suami dengan istri, pendidikan anak, dsb. Tetapi ketentuan itu disorot karena berpotensi mengungkung peran istri atau perempuan di dalam rumah. Tugas istri, disebutkan dalam Pasal 25 Ayat (3) huruf a, “Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.”
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah menganggap Pasal 25 itu bias gender, seolah ranah perempuan hanyalah seputar domestik rumah tangga, sementara kepala keluarga tidak-boleh-tidak menjadi kewenangan laki-laki.” vivanews.com
Ai Maryati juga menuturkan, fakta yang sekarang terjadi pergeseran nyata bahwa perempuan tak lagi hanya mengurus rumah tangga, melainkan sudah menjangkau ranah-ranah publik, tidak sedikit perempuan yang bahkan menjadi kepala daerah atau pejabat tinggi negara.
Dalam perspektif kesetaraan gender, gagasan domestikasi alias mengandangkan wanita seperti tersirat dalam Pasal 25 itu seolah pemikiran yang mundur. Selagi perempuan-perempuan sudah banyak yang berkiprah di ranah publik, DPR seolah ingin mengembalikan peran perempuan di dalam rumah saja.
Gagalnya Pemimpin Dalam Sistem Kapitalis-Sekuler
Dalam Islam, Negara dan Agama tidak bisa dipisahkan. Agama -Syariat Islam- bentuknya nampak dalam wujud negara, negara wadah penerapan syariat Islam, representasi Islam adalah negara.
Islam menjadikan negara sebagai penanggungjawab utama atas bangsa, rakyat termasuk keluarga. Negara dan keluarga memiliki ikatan yang kuat, dimana suksesnya kepemimpinan kepala keluarga dalam mengokohkan ketahanan keluarga wajib di topang oleh kepemimpinan di tingkat negara. Mampu tidak nya kepala keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, kesehatan keluarga nya harus di dukung peran negara dalam penerapan sistem nya.
Namun jika dijabarkan rentetan kasus perceraian, kekerasan hingga pembunuhan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh perekonomian keluarga yang buruk, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, kesehatan yang mahal, pendidikan yang minim hingga wajib pajak yang mencekik, maka belum bisa dikatakan kepemimpinan kepala negara tersebut sukses dalam memimpin negara nya, apalagi menopang ketahanan sebuah keluarga di dalam negara yang dipimpinnya.
Penerapan Islam Kaffah Mewujudkan Ketahanan Keluarga
Dari 146 pasal yang terpapar pada RUU KK, pengusung tentu berharap bahwa RUU KK ini akan mampu mewujudkan sebuah ketahanan keluarga. Namun ditengah arus liberalisasi dan banyaknya wujud keberhasilan kampanye liberal, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) akan sangat mustahil dapat terwujud ditengah-tengah masyarakat dan menjadi solusi bagi setiap persoalan yang timbul dalam sebuah keluarga, selama sistem yang dianut negara masih kapitalis-sekuler, dimana negara memisahkan agama dari kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah sistem demokrasi kapitalisme yang saat ini diterapkan oleh berbagai negeri termasuk Indonesia bisa mengokohkan ketahanan sebuah keluarga jika RUU KK di SAH kan?
Jawabnya, tentu tidak! Sekali lagi, selama sistem demokrasi kapitalisme yang dipertahankan menjadi sebuah sistem negaranya, maka mustahil dapat mewujudkan ketahanan keluarga seperti yang di inginkan.
Wa’llahualam.