UPDATENEWS, – Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia pernah mengalami wabah penyakit kolera, yang kasus nya mirip dengan wabah Corona. mulai dikenal pada 1821. Penyakit yang menyerang usus besar ini ditandai dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Penderita kolera dapat mengalami kematian dalam beberapa jam apabila tak mendapat penanganan secara serius.
Roorda van Eysinga, pegawai kolonial urusan pribumi (Indlansche Zaken), menyaksikan hiruk pikuk ketika wabah kolera menjangkit masyarakat Batavia. “Ada hari-hari ketika di Batavia terdapat 160 orang mati (akibat kolera). Mereka mengalami kejang-kejang hebat, dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” catat Eysinga dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen.
Kolera menyebabkan kepanikan luar biasa di kalangan orang Eropa. Pasalnya, wabah kolera menyebar lebih cepat dibadingkan penyakit epidemi lainnya semisal malaria, tipus, atau disentri. Pada 1864, kolera merenggut nyawa sebanyak 240 orang Eropa. Sementara tingkat kematian di kalangan penduduk bumiputra mencapai dua kali lipat dari jumlah itu. Persebaran bakteri kolera biasanya menular lewat air minum, makanan, dan kontak langsung.
Bagi masyarakat etnis Tionghoa, wabah kolera dapat dicegah dengan menggelar pertunjukan barongsai yang mengitari permukiman pecinan. Mereka meyakini setan penyebar kolera takut pada barongsai. Sedangkan warga bumiputra yang beragama Islam akan menghindari penyakit ini dengan meminum air khusus yang didoakan oleh para kyai.
“Kolera merupakan penyakit yang sangat baru dan menyebarluas dengan cepat sehingga komunitas Indonesia dan Tionghoa menanggapinya dengan cara yang tak lazim,” tulis Susan Blackburn.
tahun 1910 dan 1911 tercatat sebagai tahun kolera. Selama jangka waktu itu, rata-rata tiap 1000 orang bumiputra yang tinggal di hulu kota meninggal sedangkan di kota hilir (Batavia Lama) jumlahnya 148 orang. Hingga mendekati akhir, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6000 orang.
Begitu banyaknya orang meninggal sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur. Mayat-mayat itu diletakkan didekat jalan raya bersama peti matinya.
Dampak sosial yang ditimbulkan wabah kolera cukup memprihatinkan kehidupan masyarakat kolonial di Batavia. Sangat sulit untuk merawat pasien dari kelas sosial rendah yang biasanya tinggal di ruangan kecil berdinding bata. Ruangan-ruangan itu harus ditutup rapat untuk mencegah aliran udara. Mereka dirawat dengan metode pengobatan sederhana seperti mandi dengan air hangat atau kadangkala dengan arak. (FB Heryadi/red)