Oleh : Angga Hermanda
Updatenws.co.id – Pada akhir November 2019, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyebut setidaknya ada sepuluh pabrik sepatu di Provinsi Banten yang akan memindahkan pabriknya ke Jawa Tengah.
Perpindahan ini tentunya akan berdampak pada meningkatnya pengangguran di Provinsi Banten dan sekitarnya. Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat pada Agustus 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Banten sebesar 8,11%.
Angka tersebut menduduki peringkat pertama persentase Provinsi dengan pengganguran tertinggi di Indonesia, diikuti oleh Jawa Barat sebesar 7,99% di posisi kedua. TPT dihitung berdasarkan persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja di Provinsi Banten yang per Agustus 2019 mencapai 6,05 juta orang.
Kemiskinan Banten
Sementara itu, angka kemiskinan Provinsi Banten berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan September 2019 adalah sebesar 4,94 persen. Walaupun mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya, jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten terhitung masih cukup tinggi yakni sebanyak 641,42 ribu orang. Dari total tersebut, sebesar 371,28 ribu orang terkonsentrasi di daerah perkotaan. Kemudian 270,13 ribu orang lainnya berada di daerah perdesaan.
Pengelompokan penduduk miskin ini menggunakan Garis Kemiskinan sebagai batas. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Pada September 2019 Garis Kemiskinan Banten sebesar Rp 485.096,- per kapita per bulan. Angka ini diperoleh dengan memperhatikan komponen yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Non Makanan.
Baik diperkotaan maupun perdesaan, peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi non makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Pada September 2019, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terkhusus beras terhadap Garis Kemiskinan tercatat sebesar 18,36 persen di perkotaan dan 25,86 persen di perdesaan. Kenyataan ini sangat memilukan mengingat Banten termasuk Provinsi sepuluh besar penyumbang beras untuk kebutuhan nasional.
Kemiskinan diperdesaan diikuti dengan salah satu indikator untuk mengukur kemampuan daya beli petani, yakni Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah angka hasil perbandingan indeks yang diterima petani dari kegiatan usaha tani dengan indeks yang dibayar petani untuk kebutuhan bertani dan rumah tangga.
Sepanjang tahun 2019 kemarin, NTP Banten mengalami kenaikan yang belum signifikan, dari 100,28 menjadi 103,10 dalam rentang Januari-Desember 2019. Situasi ini masih jauh dari angka NTP yang tercatat tertinggi dalam lima tahun terakhir yakni sebesar 107,53 pada November 2015 lalu.
Ekonomi Perdesaan
Permasalahan-permasalan pelik di Provinsi Banten yang diuraikan tersebut, terkhusus yang menyangkut ekonomi perdesaan harus dijawab secara nyata oleh pemerintah daerah. Gubernur dan Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022 Wahidin Halim dan Andika Hazrumy sebetulnya telah menempatkan pertanian sebagai permasalahan kedelapan dari dua puluh satu permasalahan umum yang harus tuntas di Provinsi Banten.
Masalah pertanian berada tepat setelah penjabaran ketimpangan pendapatan antar penduduk atau kelompok masyarakat pada urutan ketujuh.
Namun setelah melewati setengah periode pemerintahan, ternyata masih banyak permasalahan petani yang belum bisa terjawab. Petani di Provinsi Banten masih kehilangan wadah ekonomi yang dulu difasilitasi Koperasi Unit Desa (KUD). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Agribisnis yang kini telah dibentuk dinilai belum mampu menjangkau hingga ke akar rumput.
Pendekatan yang dijalankan juga berbeda, BUMD Agribisnis menjadi lembaga padat modal, sementara koperasi adalah lembaga dengan kekuatan kumpulan orang. Belum lagi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang belum mampu menjawab masalah-masalah pengangguran, kemiskinan dan kemakuran petani.
Kritik atas BUMDesa yang telah berjalan lebih kurang lima tahun ini disebabkan belum bisa dilepaskan dari tarik menarik kepentingan dalam konteks kelembagaan yang mewarnai praktik ekonomi di perdesaan. Para elit ekonomi desa masih eksis mendominasi sendi usaha ekonomi perdesaan. Pada akhirnya mereka mempengaruhi kelahiran dan keberadaan BUMDesa itu sendiri.
Kondisi demikian mengingatkan kita pada prinsip koperasi yang meletakkan hak setiap anggota dalam posisi yang sejajar. Terutama saat menentukan segala keputusan yang mempengaruhi roda usaha ekonomi bersama.
Koperasi Sebagai Jalan Keluar
Kekhawatiran akan peningkatan angka pengangguran, lambannya pengentasan kemiskinan dan kemakmuran petani yang tak kunjung tercapai bisa dijawab dengan mengembalikan haluan ekonomi di perdesaan. Bangsa Indonesia sesungguhnya telah merumuskan haluan itu dalam konstitusi UUD 1945. Bangun usaha bersama diarahkan ke asas kekeluargaan, yang menurut Pasal 33 disebut koperasi.
Menurut Bung Hatta, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Koperasi bisa merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Koperasi merupakan senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya.
Hanya koperasi yang menyatakan kerja sama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga. Tak ada lagi pertentangan antara majikan dan buruh, antara manajer dan pekerja. Semua yang bekerja adalah anggota koperasi, semua memiliki tanggung jawab atas koperasinya.
Karena itu koperasi adalah lembaga ekonomi yang dari, oleh dan untuk anggota. Sebab modal, operasional dan keuntungan didedikasikan untuk anggota. Bung Hatta mengungkap logika ekonomi bahwa, “makmur koperasinya, makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya, rusaklah hidup mereka bersama”.
Hal ini menjadi titik balik perekonomian yang kini dikuasai industri melalui pabrik-pabrik di Provinsi Banten bagian utara. Sementara Banten bagian selatan yang memiliki potensi pertanian belum optimal dikembangkan. Koperasi bisa menjadi jalan keluar untuk situasi ini. Sekaligus menjawab permasalahan kedelapan dari dua puluh satu permasalahan WH-Andika sampai dengan 2022.
Koperasi akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self help). Semangat self help ini amat dibutuhkan untuk memberantas penyakit “inferiority complex” warisan kolonialisme yang kini secara umum masih dialami rakyat Banten.
Pendapat tentang lebih mengedepankan pertanian dibanding industri juga dikuatkan dengan teori ekonomi petani Alexander Chayanov. Menurut B. Kerblay dalam Shanin tahun 1971, salah satu dalil dasar ekonomi petani Alexander Chayanov adalah meruntuhkan batu bata yang tak terpisahkan dari kapitalisme atau ekonomi modern yang timpang saat ini. Batu bata yang dimaksud yakni harga, kapital/modal, upah, bunga dan sewa. Jika satu saja diantara lima batu bata jatuh, maka seluruh bangunan akan runtuh.
Kelima batu bata itu yang mendasari industri menggilas perekonomian perdesaan. Sehingga ditengah pabrik-pabrik hendak hengkang dari Banten, pemerintah daerah seharusnya melihat peluang untuk mengambalikan pertanian sebagai corong perekonomian Banten. Sebagaimana alasan awal Belanda pada abad ke-16 singgah di Banten karena tertarik untuk berdagang hasil pertanian seperti lada.
Melatari tulisan ini, sebagian petani di Provinsi Banten sesungguhnya sudah memulai mengembalikan haluan perekonomian ke pertanian dengan mendirikan Koperasi Petani Indonesia Banten (KPIB). Koperasi produksi dan pemasaran ini menjadi tatanan baru roda ekonomi petani yang mandiri, berdaulat, adil dan makmur.
Beberapa fokus produksi yang menjadi Unit Usaha KPIB antara lain beras, kopi, VCO (minyak kelapa murni), gula aren dan panganan ringan seperti keceprek. Petani yang menjadi anggota KPIB meyakini bahwa koperasi menjadi jalan kemakmuran. Jadi tunggu apa lagi? mari berkoperasi.
Penulis:
Angga Hermanda
(Pengurus Koperasi Petani Indonesia Banten dan Pegiat IKA Faperta Untirta)
Editor:
Gilang Andaruseto Prabowo