Oleh: Nurhasanah
Mahasiswi STIE Prima Graha
Bullying kerap menjadi masalah dalam pergaulan di lingkungan masyarakat.
Baik itu di dunia pendidikan, pekerjaan, bahkan lingkungan rumah pun sering terjadi dan tidak sedikit yang menimbulkan korban jiwa.
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa korban bullying yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah karena bullying, serta siswa yang ditendang lalu meninggal dunia akibat bullying.
Pemicu bullying sangat banyak kita jumpai dikeseharian. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, dan penghakiman media sosial. Parahnya lagi, bullying saat ini menjadi trend dikalangan baik anak-anak, remaja bahkan dewasa. Dengan alasan tidak suka atau hanya sekedar hiburan, merundung teman menjadi hal yang mengasyikan. Mengusik dari kekurangan atau kesalahan seseorang membuatnya jadi bahan candaan dan berujung pada kematian karakter seseorang.
Dunia sekolah yang seharusnya menjadi tempat perlombaan dalam mencari ilmu, bermain bersama teman, namun untuk para korban perundungan menjadi tempat yang sangat mengerikan. Karena menjadi tempat paling banyak terjadinya perundungan.
KPAI mencatat tahun 2018 korban perundungan 107 anak dan pelaku 127 anak.
Dengan pola didik yang salah dan berkiblat pada sekulerisme lah yang menjadi faktor utama rusaknya generasi penerus. Karena dengan memisahkan agama dari kehidupan membuat para remaja tidak mengerti standar baik buruknya suatu perilaku sesuai dengan agama. Awalnya bercanda, lama-lama menjadi candu dan pada akhirnya membunuh menjadi hal yang sederhana.
Pola fikir yang sudah teracuni oleh barat yang di iklankan secara masif lewat hiburan, fashion dan food, menjadikan kiblat tingkah laku para remaja saat ini. Dan pada akhirnya remaja menjadi lebih anarkis dan sulit untuk dikendalikan.
Saat ini di lembaga pendidikan manapun tidak bisa menjamin anak didiknya untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia dan tidak jarang anak-anak yang pandai di bidang akademik namun tidak bisa mengatasi emosionalnya. Disinilah peran sekulerisme yang memperburuk keadaan. Karena memisahkan agama dari kehidupan membuat cacat mental. Tak ada aturan yang tegas dan mengikat manusia untuk menjaga prilakunya.
Yang pada akhirnya adalah sebuah kehancuran beradaban. Bayangkan jika setiap remaja yang seharusnya terdidik dengan baik namun justru memiliki catatan kriminal. Dan bayangkan jika remaja yang seharusnya aktif bermain bersama teman justru mengurung diri, terisolir dari kehidupan sosialnya.
Negara seharusnya memiliki peran penting dalam dunia pendidikan dan membangun karakter anak bangsa menjadi manusia yang berakhlak mulia. Namun dengan sistem yang saat ini tak bisa memenuhi standar pendidikan yang dapat menciptakan individu-individu cerdas dan berakhlakul karimah, hanya akan menjadi bom waktu untuk kehancuran bangsa ini sendiri.
Dengan demikian negara telah gagal dalam mendidik SDM yang berakhlak mulia dari sistem yang memisahkan kehidupan dengan agama.
Dalam islam, pendidikan adalah hal dasar untuk membentuk karakter terbaik. Islam mendidik bukan hanya untuk mencerdaskan namun juga membangun karakter menjadi manusia yang lebih mulia. Islam sudah menjadi paket komplit untuk menjadi sebuah aturan. Bahkan islam sudah tegas untuk tidak mendzolimi orang lain apa lagi sampai perundungan dan pembunuhan.
Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari peraturan pergaulan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, semua diatur dari bangun tidur sampai tidur lagi. Semua di atur dalam koridor yang sesuai dengan fitrah manusia sendiri. Jadi menerapkan islam secara kaffah adalah satu satunya solusi untuk menyelamatkan generasi ini. Wallahu a’alam