Oleh : Lia Eviyanti, S.I.K
(Aktivis dan Pendidik)
Tragis, angka perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, mencatat sekitar 408.202 kasus perceraian di tahun 2018, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyebab terbesar perceraian pada tahun 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). (databoks.katadata.co.id)
Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan. DetikNews.com
Maraknya perceraian, bobroknya sistem kapitalisme
Mayoritas perceraian terjadi atas gugatan Istri. Faktor ekonomi menjadi alasan utama kasus perceraian. Ketimpangan pendapatan antara suami dan isteri dimana pendapatan istri lebih besar dari pendapatan suami adalah alasan istri menggugat cerai suami.
Selain itu, sistem Kapitalis-sekuler menganggap bahwa sumber kebahagian adalah kesenangan dan kepuasan yang diperoleh dari materi, sehingga menjadi hal yang biasa apabila seorang istri yang memiliki pendapatan lebih tinggi dari suami menganggap bahwa sumber kebahagiaannya hanyalah bersumber dari materi yang ia peroleh. Ini adalah salah satu faktor yang menjadi penyumbang angka perceraian terus meningkat.
Kemudian dengan alasan ingin membantu perekonomi keluarga, para istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Namun apakah masalah ekonomi bisa teratasi ketika para wanita masuk ke dunia kerja?
Tidak! Hal ini justru membuat permasalahan baru. Pertama, peran perempuan dalam keluarga akan bergeser, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga menjadi tulang punggung keluarga. Kedua, Ketaatan istri kepada suami akan berkurang apabila penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri. Ketiga, pengangguran yang terjadi pada para suami/laki-laki akan semakin meningkat dan tidak terselesaikan. Keempat, memicu keretakan dalam bahtera rumah tangga. Karena para perempuan merasa bisa hidup mandiri dan berpenghasilan meski tidak bersuami lagi. Inilah konflik rumah tangga yang tidak bisa dihindari, pada akhirnya perceraian dianggap sebuah solusi.
Para perempuan akan meninggalkan hak dan kewajiban nya sebagai seorang istri yang sebenarnya harus dipenuhi. Bukan sibuk mencari materi dan kesenangan duniawi. Sejatinya Allah telah memberikan rizki kepada setiap manusia, termasuk seorang istri yang tidak berpenghasilan. Allah akan tetap jamin rizki seseorang hamba dari pintu mana saja yang tidak pernah manusia ketahui.
Faktor-faktor di atas adalah segelumit penyebab terjadinya perceraian di Indonesia. Semua dilatarbelakangi oleh penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan banyak kerusakan.
Kapitalisme telah merampas hak-hak rakyat. Demi meraup keuntungan atas kepentingan para pengusaha dan penguasa, berbagai pihak di dzolimi, sumber daya alam dikuasai, ulama dipersekusi, kebutuhan pokok melonjak tinggi, pendidikan di minimalisasi, kesehatan dijual mahal. Kehidupan menjadi demikian sempit dan sulit. Rakyat menjerit, pejabat melejit. Sistem kapitalis-sekuler membuat kemiskinan semakin merajalela, kaum perempuan terpaksa menjadi kuli, bahkan hingga menjual diri.
Kapitalis-sekuler tidak memberi kesejahteraan sosial, justru atas dasar kepentingan, kepemilikan pribadi dan semacamnya. Meski sudah sangat jelas di depan mata, penguasa justru memilih diam dan tidak memberi solusi.
Islam solusi tuntas atasi perceraian
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia memiliki sebuah sistem kehidupan yang lengkap. Politik Pemeritahan Islam, didedikasikan untuk melayani kepentingan masyarakat. Sebab, hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Karena itu, penguasa dalam Islam bagaikan penggembala (ra’in) dan pelayan umat (khadim al-ummah).
Dalam pandangan Islam, penguasa harus hadir dalam melayani kebutuhan umat. Terpenuhinya kebutuhan umat akan menutup pintu konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian.
Secara ekonomi, penguasa harus memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan). Jika kebutuhan pokok belum terpenuhi, keluarganya wajib membantu. Jika masih belum cukup, negara akan turun tangan. Tidak boleh ada individu rakyat yang mati kelaparan, atau hidup dalam kedingingan karena tidak memiliki pakaian dan rumah. Maka, peluang terjadinya perceraian akan sangat minim karena Islam telah mewajibkan kepada penguasa untuk menyejahterakan rakyatnya. Selain itu, penguasa juga wajib melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat untuk mempertebal keimanan setiap individu masyarakat. Dengan keimanan yang kokoh akan meminimalisir terjadinya kasus perceraian. Islam akan mengikis angka perceraian yang menjadi problematika kehidupan.
Wallahu ‘alam bi showab