Oleh: Diana Barirotuttaqiyyah S.T., M.Sc.
Alumni S1 ITB, Alumni S2 UGM, Aktivis BMI Banten
Kemiskinan merupakan permasalahan sebagian besar negara di dunia yang tidak kunjung usai termasuk Indonesia. Awal tahun 2020, Bank Dunia melaporkan bahwa masih terdapat 802,1 juta lebih orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di 15 negara. Sementara untuk Indonesia dinyatakan bahwa 45% masyarakat Indonesia berpotensi menjadi miskin kembali.
Sri Mulyani dalam acara Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness mengatakan salah satu faktor kemiskinan adalah ketidaksetaraan gender. “Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan,” tutur Sri Mulyani. Oleh karena itu, pemerintah mengusung ide kesetaraan gender untuk mendorong pemberdayaan perempuan sebagai solusi permasalahan kemiskinan.
Konferensi dunia keempat PBB pada September 1995 menghasilkan dokumen yang disebut dengan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing atau disebut dengan Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA). Deklarasi ini mendorong negara-negara dunia untuk menjadikan kesetaraan gender sebagai nilai universal diatas keyakinan budaya atau keyakinan agama. Kesetaraan gender merupakan gagasan untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan memastikan kesetaraan peran, hak, dan tanggung jawab dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini di elu-elukan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan di dunia.
Dokumen ini memandang perempuan sebagai entitas paling rentan terhadap kemiskinan. Disaat yang sama, perempuan didorong untuk berperan aktif dalam pengetasan kemiskinan dengan aktif terlibat dalam kegiatan ekonomi atau produksi. Oleh karena itu, banyak program pemberdayaan perempuan (PEP) yang di promosikan saat ini dengan harapkan dapat mengangkat masyarakat dari kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi negara, dan menghapus permasalahan kemiskinan dunia secara perlahan.
Saat ini permasalahan kemiskinan tak kunjung usai. Padahal kita ketahui sudah 25 tahun BPfA mempromosikan kesetaraan gender sebagai solusi pengetasan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender tidak ada kaitannya dengan kemiskinan yang terjadi di dunia maupun Indonesia.
Kesetaraan gender bukanlah solusi kemiskinan. Sebaliknya pengarusan ide ini memunculkan masalah baru. Salah satunya adalah terabaikannya anak-anak oleh ibu mereka yang harus ikut berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lebih dari 350 anak (usia 0-18 tahun) di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur yang ditinggal oleh ibu atau bapak bahkan keduanya untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Adanya kesetaraan gender menjadikan peran utama ibu sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya terlalaikan. Hal ini akan berdampak buruk pada kualitas para generasi penerus. Salah satunya adalah terjerumusnya para generasi penerus ke dalam pergaulan bebas yang merusak kehidupan.
Kemiskinan sendiri sejatinya berakar pada penerapan ekonomi kapitalisme global. Penerapan ekonomi kapitalisme global ini lah yang menciptakan ketimpangan kesejahteraan dan kemiskinan di berbagai belahan dunia. Sumberdaya alam dan komoditas strategis yang seharusnya milik umum dimonopoli oleh para kapitalis. Sistem ini memberikan peluang besar pada pemodal tapi menekan bagi siapa yang tidak memiliki modal besar. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Oxfam (lembaga nirlaba Inggris) pada tahun 2018, 82% kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh 1% orang di dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah sistemik akibat diterapkannya ekonomi kapitalisme. Ekonomi kapitalisme dapat berlaku karena sistem kehidupan yang diterapkan dunia ini secara umum adalah sistem kapitalisme. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan yang sitemik maka perlu solusi yang sistemik. Solusi itu sendiri adalah mengubah sistem kapitalisme menjadi sistem islam yang menyeluruh.
Kemiskinan di dalam islam dapat dituntaskan dengan adanya pemimpin/negara sebagai pengurus umat. Pengelolaan sumberdaya alam yang berlimpah akan dikelola oleh negara dan tidak memperbolehkan swasta maupun asing untuk memprivatisasi sumberdaya alam. Sehingga hasil dari pengelolaan sumberdaya alam dapat dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti kesehatan dan pendidikan secara gratis. Hal ini akan meringankan beban kepala keluarga dalam mencari nafkah sehingga masalah kemiskinan dapat terselesaikan.