TANGERANG – Polda Metro Jaya dan Polres Metro Tangerang Kota telah menangkap lima orang pemuda pelaku vandalisme. Hal tersebut dipicu karena coretan agitasi bertuliskan “Kill the Rich” dan “Sudah Krisis, Saatnya Membakar” di sebuah toko di Pasar Anyar, Kota Tangerang, pada Kamis tanggal 9 April 2020.
Dalam sebuah keterangan tertulis yang diterima Updatenews.co.id, Kapolda Metro Jaya Nana Sudjana menyebut pelaku vandalisme sebagai kelompok Anarko. Menurutnya, kelompok tersebut tengah menyusun skenario penjarahan di beberapa wilayah di Pulau Jawa selama pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berlangsung.
“Jadi mereka ditangkap ini mendasari aktivitas mereka ataupun kegiatan mereka, yaitu melakukan upaya vandalisme di wilayah Tangerang Kota,” kata Nana, Sabtu (11/04/2020).
Polres Metro Tangerang Kota telah menyita beberapa buku yang dijadikan barang bukti, antara lain Massa Aksi oleh Tan Malaka, Corat-coret di Toilet oleh Eka Kurniawan, Indonesia dalam Krisis 1997-2002 oleh Tim Litbang Kompas.
Kemudian Pencerahan Tanpa Kegerahan oleh Aldentua Siringoringo, Ex Nihilo oleh Dwi Ira Mayasari,Love, Stargirl oleh Jerry Spinelli, Gali Lobang Gila Lobang oleh Remy Sylado, Goresan Cinta Sang Kupu-kupu oleh Fitri Carmelia Lutfiaty, Nasionalisme Islamisme dan Marxisme oleh Soekarno dan Christ the Lord: Out of Egypt karya Anne Rice.
Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Sugeng Heriyanto memebenarkan hal tersebut. “Iya betul,” katanya.
Kelima pelaku dijerat pasal 14 dan 15 Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dan pasal 160 KUHP yaitu membuat onar dengan membuat berita bohong dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Stigmatisasi Terhadap Kelompok Anarko
Menanggapi hal tersebut, Kabiro Riset dan Dokumentasi KontraS Rivanlee Iskandar menilai bahwa, tindakan yang dilakukan oleh polisi terlalu berlebihan. Terlebih kasus ini dianggap sebagai bentuk provokasi yang sedang dilangsungkan polisi.
Rivanlee juga mengatakan, polisi kerap menjadikan kelompok anarko sebagai kambing hitam sejak Hari Buruh Internasional 2019 dan aksi Reformasi Dikorupsi.
“Implikasinya polisi akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang-orang yang diasosiasikan kelompok-kelompok anarko,” ujarnya saat dihubungi Updatenews.co.id, Senin (13/04/2020).
Menurutnya, tindakan penangkapan yang dilakukan polisi akan menimbulkan stigma baru terhadap istilah anarko.
“Kedepan akan muncul stigmatisasi terhadap orang-orang yang dianggap mirip dengan perilaku anarko,” imbuhnya.
Ia juga menyebut polisi terlalu berlebihan dalam menanggapi tindakan vandalisme yang dilakukan di Kota Tangerang. Apalagi, kata Rivanlee, polisi tidak bisa sewenang-wenang menilai kelompok anarko sebagai dalang dari kerusuhan.
“Polisi punya mekanisme deteksi dini yang bisa mencegah perilaku kejahatan, bukan menggeneralisir satu kelompok dan kemudian menjadi basis untuk berlaku sewenang-wenang yang berujung pada pelanggaran HAM,” sebutnya.
Rivanlee menilai tindakan aparat kepolisian sebagai bagian dari “state terrorism” atau terorisme negara. Mengacu pada konstruksi stigma yang dibangun oleh aparat kepolisian. Menurutnya, hal tersebut akan menciptakan ketakutan di ranah publik.
“Dengan menciptakan stigmatisasi pada kelompok tertentu, negara semakin menebar ketakutannya setelah sebelumnya meneror dengan surat telegram kapolri,” jelasnya.
Maka dari itu, penegakan hukum pidana terhadap berita bohong harus dilakukan secara selektif, hati-hati, dan presisi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Polisi harus menggunakan indikator-indikator yang terukur dalam menggunakan pasal ini seperti, konteks, pembicara, maksud, isi dan bentuk, tingkatan tindakan, dan kemungkinan konkret yang akan terjadi,” pungkasnya. (Gilang/red)