SERANG—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) perwakilan Banten mencatat ada permasalahan dalam pemanfaatan atau optimalisasi pengelolaan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banten dari sektor pajak Air Permukaan (AP) di Provinsi Banten.
Kepala Bidang (Kabid) Pendapatan (Bapenda) Provinsi Banten Abadi Wuryanto mengaku, permasalahan atas Surat Izin Pengambilan Pajak Air Permukaan (SIPAP) telah menjadi temuan BPK, sehingga permasalahan tersebut adanya di Dinas Pekerjaan Umum dan penataan Ruang (DPUPR), karena BPK mencantumkan dua OPD yang bertanggung jawab, maka pihaknya juga dilibatkan dalam catatan BPK.
“Dari 168 Wajib Pajak (WP) AP ini, 92 diantaranya sudah habis masa perizinan SIPAP-nya, sehingga tidak bisa dilakukan pengambilan pajak,” katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan seluller, Kamis (28/5/2020).
Menurutnya, BPK RI memberikan dua rekomendasi kepada Gubernur Banten. Pertama, memerintahkan DPUPR berkoordinasi dengan Kepala Bapenda Banten, untuk menetapkan mekanisme prosedur pengendalian kepada perusahaan yang mengurus persyaratan SIPAP sesuai ketentuan.
Kedua, sambungnya, mendata ulang WP air permukaan secara lengkap, meliputi kegiatan usaha yang menggunakan sumber daya air permukaan, kepemilikan SIPAP, volume penggunaan air permukaan dan kepatuhan pembayaran pajak air permukaan.
“Data WP yang menjadi acuan Bapenda sendiri merupakan hasil pendataan yang dilakukan pada tahun 2014. Dalam dokumen itu BPK juga mempersoalkan terkait jumlah WP yang menjadi acuan hingga tahun 2020 ini tidak terjadi penambahan,” ungkapnya.
Sementara terpisah, Ketua Komisi III DPRD Banten Gembong R Sumedi mengatakan kordinasi yang dilakukan antara Bapenda dan DPUPR Provinsi Banten sangat buruk. Terlebih diabtara keduanya tidak ada i’tikad baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Tidak ada kordinasi yang baik antara kedua OPD ini, sehingga kemudian keduanya saling lempar tanggung jawab,” ucapnya.
Dengan permasalahan itu, ia menekankan agar koordinasi antara eksekutif lebih ditingkatkan dalam rangka menemukan solusi terbaik, sehingga target dan capaian OPD bisa berjalan dengan normal.
“Terutama dalam hal menetapkan mekanisme prosedur pengendalian terhadap perusahaan yang mengurus persyaratan SIPAP sesuai ketentuan,” ujar Gembong.
Ia berharap Pemprov Banten membuat regulasi baru seperti yang dilakukan oleh Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel). Acuan Pemprov Sumsel dalam mengambil pajak AP hanya berdasarkan matering air yang wajib dipasang di setiap perusahaan AP. Hasil ukur dari matering air ini kemudian yang akan dijadikan ukuran pengambilan pajak. Sehingga penarikan pajak AP tidak ada hubungannya dengan SIPAP.
“Opsi ini pernah disampaikan kepada Bapenda. Namun mereka tidak berani melaksanakan karena dikhawatirkan akan terkena delik hukum. Padahal, jika dilakukan, saya yakin PAD dari sektor ini akan bisa dimaksimalkan,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten Ade Hidayat, pihaknya menilai permasalahan itu merupakan hal klasik yang tidak ada titik temunya, jika memang Pemprov mempunyai keseriusan untuk memaksimalkan pajak dari sektor itu, kata dia mendingan tutup saja dulu seluruh perusahaan yang sudah tidak memiliki izin SIPAP-nya. Jangan biarkan mereka beroperasi, sebelum urusan izin diselesaikan.
“Ini mah airnya tetap disedot, sementara pajaknya tidak masuk. Ini kan jelas pemerintahan yang dirugikan,” katanya.
Ia mengatakan, Provinsi Banten mempunyai empat Wilayah Sungai (WS). Dua WS berada dalam kewenangan pemerintah pusat seperti WS Cidanau, Ciujung, Cidurian dan WS Ciliwung Cisadane. Sementara dua WS lagi berada dalam kewenangan Provinsi Banten, yakni WS Ciliman-Cibungur dan WS Cibaliung-Cisawarna.
“Ada dua pihak yang berwenang mengeluarkan SIPAP, pertama Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten serta Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sebelum mengurus SIPAP ke PUPR, pemohon harus terlebih dahulu mengurus rekomendasi teknis pada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cidanau, Ciujung, Cidurian dan BBWS Ciliwung, Cisadane,” imbuhnya.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Kepala Bapenda dari dokumen yang redaksi dapatkan, proses izin yang panjang inilah yang menyebabkan banyaknya WP merasa kesulitan dalam melengkapi dokumen, baik untuk penerbitan SIPAP maupun perpanjangan,” tutupnya (Jen/red)