SERANG — Gelombang perlawanan terhadap rasisme mulai menggemparkan dunia setelah tragedi rasisme di Amerika Serikat yang dilakukan polisi minneapolis terhadap seorang warga kulit hitam George Ployd hingga meninggal dunia. Pasalnya, kejadian ini dikaitkan dengan Indonesia yang menyulut peristiwa penangkapan Mahasiswa Papua beberapa tahun silam.
“Insiden pelanggaran HAM yang menimpa George Floyd menjadi cerminan dari apa yang terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM serupa yang diawali dengan rasisme di negara ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, dan sebagian besar kasus tidak selesai,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menanggapi unjuk rasa global menentang diskriminasi dan rasisme atas kematian George Floyd di Amerika Serikat elum lama ini, seperti dikutif dari suarapapua.com, Selasa (9/6/2020).
Sementara itu, Aktvisi Banten Juni Akbar Firman mengatakan, peristiwa di AS mencerminkan rasisme di Indonesia yang terus menyulut kemarahan rakyat papua. Kejadian itu, kata dia, beberapa waktu lalu ketika pengepungan disertai rasisme di Asrama Mahasiswa Papua Yogyakarta pada 2016 dan di Surabaya pada 2019 yang menimbulkan demontrasi besar-besaran.
“Ya kejadian rasisme belum terselesaikan di Indonesia, apalagi melihat kawan kawan Universitas Cendrawasih (UNCEN) dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dituntut belasan tahun disebab kan karna meneriakan tentang Rasisme dan diskriminasi kepada masyarakat Papua mereka dituntut dengan pasal makar, ini berbahaya bisa mengulang peristiwa yang sama seperti di AS,” ucap Firman kepada updatenews.co.id.
Menurut Firman, rasisme yang menimpa George Plyd hanya gambaran kecil, bahkan di Papua yang memiliki ras kulit hitam sudah ratusan meninggal dunia. Apalagi, diakuinya, jika dikupas dari rentetan sejarah hingga hari ini tahanan politik orang Papua mungkin masih banyak dibalik dijeruri besi.
“Aku sangat menyayangkan terhadap kawan – kawan sekalian yang menentang rasisme tapi masih menggunakan candaan yang sarkas kepada kawan kita yang berkulit hitam dengan sebutan memarginalkan, Ambon lah atau apalah itu yang menyakiti bangsa sendiri, kecantikan itu tak mengenal warna kulit dan ras mau hitam, putih, kuning langsat mereka semua sama di bahawa bendera Indonesia,” tegasnya.
Terkait situasi saat ini, sambung Firman, banyak persoalan yang penuh kontroversi, selain rasisme Papua, dia menyoroti pembungkaman terhada demokrasi, terlebih penghentian disksusi di UGM merupakan peristiwa yang sama dialami berbagai kampus lain.
“Dengan dalih makar pemerintah menggunakan cara-cara orba untuk memuluskan kekuasaanya, kebebasan berpendapat dibawah rezim Jokowidodo sangatlah terancam apalagi ditengah pandemi seperti ini kita bersuara dengan massa yang banyak dibubarkan dengan dalih pandemi, kita bersuara dengan massa yang sedikit dituntut penjara dengan dalih makar, kita berdiskusi diforum didiskriminasi dan suruh dibubarkan klo seperti ini kebebasan berpendapat yang ada dalam 28 ayat 3 ini terancam bagi masyarakat Indonesia oleh rezim yang anti keritik,” jelasnya.
Terakhir, Aktivis Banten ini mengajak kepada seluruh elmen Mahasiswa Indonesia untuk menggalang pembebasan mahasiswa Papua, serta hentikan tindakan rasisme di Indonesia. Sementara pembungkaman demokrasi harus diusut tuntas agar rakyat mendapat jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
“Pemerintah indonesia harus menghentikan tindakan rasis, dan ancaman terhada demokrasi, rakyat Indonesia harus lantang bersuara atas persoalan Papua dengan persatuan akan berdiri bangsa yang besar, kita ingin hak demokrasi Papuan sama dengan yang lain, apalagi seluruh akses terbuka dengan lebar agar sekecil apapun itu persoalan dapat di ekspose ke publik,” tutup Firman.
Penulis : Jejen
Editor : Aldo Marantika