SERANG, – Sebanyak 15 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten sudah mengajukan interpelasi Gubernur Banten Wahidin Halim terkait pemindahan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dari Bank Banten ke BJB.
Hak interpelasi tinggal diajukan kepada pimpinan DPRD setelah memenuhi syarat adanya dukungan dari Fraksi Gerindra, PDIP dan PSI.
Namun, belum sampai di meja pimpinan, Gubernur Banten Wahidin Halim mengeluarkan surat prihal konversi dana kasda senilai Rp1.9 triliun menjadi setoran modal untuk Bank Banten. Surat tersebut membuat wacana interplasi dibatalkan.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten Ade Hidayat mengatakan, berdasarkan peraturan DPRD Banten tentang tata tertib DPRD Banten interpelasi bagi hak Anggota DPRD Banten untuk bertanya kepada Gubernur Banten tentang kebijakan yang berdampak luar terhadap masyarakat dan kehidupan bernegara.
“Karena itu ruang ini digunakan untuk mempertanyakan tentang pemindahan RKUD,” ujar Ade saat diskusi terbatas tentang “Nasib Interpelasi Pasca Divestasi Kasda” yang digelar oleh Banten Lawyers Club (BLC). Senin (22/6/2020).
Menurutnya, langkah interpelasi dianggap lebih baik dilakukan karena jawaban gubernur bisa menjadi acuan melaksanakan kebijakan berikutnya.
“Kebetulan Bank Banten menjdi mitra komisi, dan saya salah satu pimpinan komisi, maka menjadi wajib untuk bisa menanyanakan kepada gubernur. Berbeda dengan ruang lainnya seperti pansus atau rapat konsultasi,” kata Ade.
Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan, pada posisi saat ini pasca konversi dana kasda menjadi penyertaan modal, dia terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada pemprov untuk mengambil langkah kongkrit menyehatkan Bank Banten.
“Dalam rapat saya sudah beberapa kali tanyakan keseriusan pemprov menyehatkan Bank Banten, Sekda Banten yang pada saat itu hadir menyatakan komitmen,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan FH Untirta Lia Riesta Dewi mengatakan, pemindahan RKUD Pemprov Banten dari Bank Banten ke BJB telah menimbulkan kemelut yang luas biasa. Telah terjadi terjadi rush yang berdampak pada kondisi Bank Banten.
Atas kondisi tersebut DPRD Banten kemudian berwacana ingin mengajukan hak interpelasi. Mengapa berwacana, kata Lia, karena faktanya sampai hari ini belum ada pengajuan pasti hak interpelasi. “Jadi DPRD baru bisa berwacana, sama seperti Gubernurnya, satu badan itu yang harus diingat,” ujarnya.
“Saya pikir kenapa kita harus takut dengan sesuatu hal yang itu ingin menegakan sebuah aturan, mengapa hak interpelasi harus ditakuti,” tambah Lia.
Menurutnya, hak interpelasi itu adalah suatu hak yang meminta keterangan tentang kebijakan kepala daerah yang memberikan dampak meluas terhadap masyarakat seperti pemindahan RKUD Bank Banten
Dia mencatat, dalam sejarah tercatat bahwa sejak 1950 sampai 2019 telah terjadi 44 kali interpelasi yang diajukan oleh DPR. Dampaknya terlihat tidak ada masalah yang timbul.
“Apakah menjadi masalah, apakah menjadikan hubungan presiden DPR tidak baik, tidak. Kita tuh jangan menakuti sesuatu hal yang bukan harus kita takui, jadi jangan lebay,” ujarnya.
Terkait adanya surat dari Gubernur tentang penyertaan modal untuk Bank Banten sebesar Rp1,9 trilun itu belum tentu menyelesaikan kemelut Bank Banten.
Dia menduga, surat teesebut hanya untuk meredam 15 Anggota DPRD Banten agar tidak melanjutkan interpelasi.
“Surat itu yang tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan, jadi saya surat itu untuk meredam khwatir 15 orang ini terus melanjutkan untuk mengajukan interpelasi,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa terdapat dua peraturan yang dikenal di Indonesia yaitu peraturan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan.
“Sedangkan surat yang dibuat gubernur itu surat edaran juga enggak, peraturan kebijakan kebijakan bukan, apalagi peraturan perundang-undangan. Akhirnya saya bisa menyimpulkan surat gubernur Banten tidak atau belum menyelesaikankan kemelut Bank Banten,” tegasnya. (US/red)