TANGERANG – Mengenai kasus vandalisme di Kota Tangerang yang melibatkan tiga pemuda; Riski Julianda, Muhammad Rizki Riyanto, dan Rio Imannuel; penangkapan ketiganya tergolong menimbulkan kontroversi. Terlebih, mereka didakwa pasal 160 KUHP tentang penghasutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Kota Tangerang.
Salah satu pegiat Lembaga Studi Filsafat – Discourse (LSFD) Dika Sri Pandanari mengatakan, polisi tidak transparan saat melakukan penangkapan lantaran pelaku dituduh anggota Anarko atau penganut Anarkisme. Menurutnya, saat itu polisi tidak menjelaskan terkait ideologi Anarko secara spesifik.
“Saya kira polisi tidak trasparan. Misalnya, mengapa menyebut para tertangkap sebagai anggota Anarko? Lalu tidak pula menjelaskan apa yang disebut anarko,” ujarnya saat dihubungi Updatenews.co.id, Selasa (23/06/2020).
Di samping itu, Dika juga menyebut bahwa Pertahanan Nasional RI belum memiliki term kajian terkait Anarkisme seperti yang dikenalkan Bakunin, Berkman, Proudhon, Stirner, dan lainnya. Menurutnya, kajian Anarkisme pada ranah Pertahanan RI hanya sebatas stereotip yang mengarah pada tindakan destruktif.
“Yang ada hanya vandalisme dan terorisme. Ada anarkisme, tapi bukan merujuk pada apa yang kita kenal sebagai anarkisme, melainkan segala hal yang melawan tata tertib semata,” terangnya.
Dika berasumsi, aparatur negara akan menuduh setiap warga negara yang melanggar sebagai pelaku tindakan Anarkis (destruktif). Menurutnya, hal tersebut sering ditemukan pada sebuah kalimat atau narasi pemberitaan terkait kejadian tindak destruktif di masyarakat.
“Kalau kita baca berita, biasanya kita temukan kalimat; mahasiswa anarkis ketika demo di kampus, pedagang pasar anarkis menolak relokasi pasar, Front Pembela Islam (FPI) anarkis karena melakukan shalat di trotoar, Satpol PP anarkis karena melakukan kekerasan pada warga,” paparnya.
Dika menambahkan, kesalahpahaman terkait ideologi Anarkisme tidak hanya berpengaruh di tengah masyarakat, melainkan juga terhadap tata hukum dan pemahaman aparatur penegak hukumnya. “Common sense masyarakat dalam memahami anarkisme jauh berbeda dengan apa yang dimaksud oleh para anarkis itu sendiri. Hal ini berpengaruh pada tata hukum serta pemahaman aparatnya,” ucapnya.
Dika menilai, forma kelompok Anarko dan Anarkisme tergolong sulit untuk dicirikan. Jika pemerintah punya intelektual, kata Dika, mereka akan melakukan kajian mendalam untuk melihat tanggapan di masyarakat. Karena, beberapa kalangan menilai pemberitaan terkait kelompok Anarko yang sedang berkembang sebagai hoax.
“Kalau pemerintah punya intelektual yang pandai, dan saya percaya mereka punya, mereka akan melakukan ini (kajian) untuk melihat tanggapan masyarakat. Bukan untuk menyebarkan teror. Apalagi berita tersebut dilanjutkan dengan hoax,” pungkasnya.
Penulis: Gilang Andaruseto Prabowo