SERANG – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam koalisi masyarakat untuk demokrasi (Kamrad) menggelar aksi longmarch dari UIN Banten ke Alun-Alun, Kota Serang, Jum’at (14/8/2020) kemarin.
Dalam aksinya massa Kamrad meminta pemerintah untuk mencabut RUU Omnibuslaw dari Badan Legilasi (Baleg) Nasional.
Korlap Aksi Stupa mengatakan Omnibus Law sebagai produk legislasi terlalu overpower dengan otomatis mencabut dan merevisi 82 undang-undang lain yang di dalamnya terdapat 1194 pasal dalam sekaligus guna melancarkan arus investasi modal.
“Sejak awal pengerjaan legislasi ini dipercayakan kepada Tim Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law itu kebanyakan diisi oleh para birokrat dan pengusaha yang secara senyap dan cepat mengerjakannya tanpa melibatkan rakyat. Konsep komunikasi tiga pihak (tripartit), antara pemerintah, pengusaha, serta pekerja/buruh yang menjadi standarisasi ketenagakerjaan Indonesia menjadi omong kosong setelah melihat cara kerja pembahasan Omnibus Law,” kata Stupa disela-sela orasi politik.
Dia menyebut, Alasan menolak Omnibus diperkuat dengan fakta pengesahannya yang mengakibatkan penghapusan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal Amdal sebagai syarat perizinan pembangunan sangat dibutuhkan untuk memastikan tidak ada kerusakan lingkungan yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
“Nah fenomena ini akan menimbulkan krisis ekologis, penggusuran paksa, dan okupasi lahan produktif secara masif akan menimpa bumi Indonesia, diperlarah dengan HGU baik industri maupun pertambangan, selama 90 tahun kepada investor yang akan membabi buta mengeskploitasi kekayaan alam dan melanggengkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia,” tuturnya.
Kemudian, ucap dia, Omnibuslaw akan menimpa kelas pekerja dengan rencana penghapusan waktu kontrak kerja yang mengakibatkan tidak ada kepastian status kerja. Durasi waktu kerja, jaminan upah berdasarkan jam kerja, sampai jaminan sosial akan dihilangkan untuk mengenyangkan investasi industri di Indonesia.
“Kelas buruh juga akan dihadapkan dengan fleksibilitas kerja yang mengakibatkan mudahnya korporasi melakukan PHK dan mengerdilkan pesangon, ditambah lagi dengan Investor mendapatkan imunitas untuk tidak bisa dijerat sanksi pidana jika mereka melakukan pelanggaran peraturan,” ungkapnya.
Stupa mengungkapkan Omnibus Law menyasar sektoral pendidikan yang dari awal akan diliberalisasi. Akses pendidikan akan sulit dengan biayanya yang mahal, tidak bisa dijangkau karena rakyat sudah kehilangan lahan berproduksinya maupun diperdaya dengan upah kecil di pabrik. Meski sudah masuk bangku pendidikan, namun, menurutnya semua dorientasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri yang menerapkan politik upah murah.
“Kita diwajibkan magang tiga bulan dalam kerja sebagai kedok untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja gaji kecil. Sungguh miris melihat tujuan pendidikan untuk mencerdaskan dan mengembangkan anak-anak Indonesia malah dijadikan persiapan eksploitasi tenaga kerja buah kepentingan investor,” tuturnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintahan Republik Indonesia untuk memenuhi beberapa tuntutan pertama segera Cabut Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka)
“Kedua, hapus politik upah murah dan segala bentuk diskriminasi kepada kelas buruh. Ketiga,Tolak juga segala proyek pembangunan yang mengakibatkan perusakan lingkungan, okupasi lahan produktif tani, dan penggusuran, dan Berikan jaminan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak untuk rakyat, cabut segala produk legislasi yang tidak demokratis dan diskriminatif kepada rakyat,” tambahnya.
“Kembalikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ke dalam Program Legislatif Nasional (PROLEGNAS) dan segera sahkan, dan Bebaskan aktivis pro-demokrasi, pelajar-mahasiswa, kaum tani, serta tahanan politik (tapol) Papua yang menjadi korban kriminalisasi Negara,” tandasnya. (Jen/red)