SERANG – Perwakilan Pena Masyarakat Fikri menyebutkan pada tahun 2019, penduduk Provinsi Banten mencapai 12,9 juta jiwa atau terbanyak kelima di Indonesia, setelah Jawa Barat (49,3 juta jiwa), Jawa Timur (39,7 juta jiwa), Jawa Tengah (34,7 juta jiwa), dan Sumatera Utara (14,6 juta jiwa).
Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Banten termasuk yang tertinggi di Indonesia. Jika pada tahun 2000 proporsi penduduk Banten hanya 4,48 persen penduduk Indonesia, di tahun 2019 proporsinya menjadi 4,82 persen.
Kata Fikri, meski jumlah penduduk terus bertambah, Pemerintah Provinsi Banten terlihat lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa mengedepankan kelestarian lingkungan dan aspek inklusifitas khususnya bagi kelompok rentan seperti nelayan, petani, hingga warga disabilitas.
“Provinsi Banten ini banyak berdiri pabrik dan juga terdapat PLTU yang polusinya bisa dikirim ke Provinsi lain seperti Jakarta. Namun hingga saat ini, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah itu sebatas pembangunan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang, tidak ramah lingkungan dan tidak berorientasi pada kebermanfaatan bersama (Inklusif),” kata Fikri kepada awak media saat dikonfirmasi lewat seluller, Sabtu (15/8/2020).
Dengan begitu, pihaknya khawatir kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil akan mengancam kelestarian lingkungan di Banten.
Sementara itu, Presiden Untirta Ibnu Mas’ud mengatakan, Provinsi Banten saat ini telah memiliki beragam masalah lingkungan. Dalam laporan racun debu di Kampung Jawara yang disusun oleh Trend Asia, WALHI Jakarta, dan Pena Masyarakat, Banten telah berada dalam kondisi darurat limbah industri karena ada ratusan perusahaan yang bermasalah serius dalam pengelolaan limbah.
“Problem lingkungan seperti air, tanah, dan ruang hidup di Banten justru diakomodir oleh pemerintah pusat maupun aturan pemerintah daerah melalui aturan yang mereka terbitkan. Ancaman kerusakan lingkungan tersebut akan semakin nyata jika pemerintah melanjutkan pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 di Suralaya, pembangkit listrik energi kotoe batubara yang memproduksi polutan teramat besar,”ungkapnya.
Selain itu, ucap dia, Pembangunan yang tidak berorientasi lingkungan akan menyebabkan masyarakat sulit mengakses lingkungan yang baik, udara dan air bersih.
“Ini sangat berbahaya bagi aspek kesehatan warga hingga aspek ekonomi warga khususnya yang menggantungkan pencaharian sebagai nelayan dan petani. Kerusakan lingkungan ini jika tidak segera diselesaikan akan menurunkan kualitas sosial dan ekonomi,”
Dilain hal, aktivis Koreda (Komunitas Area Disabilitas) M. Ridwan mengungkapkan, berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Banten tahun 2017, terdapat 23.291 penduduk Banten yang masuk dalam kategori disabilitas. Hingga kini, data tersebut belum diperbarui, sehingga jika melihat angka pertumbuhan penduduk Provinsi Banten, bukan tak mungkin jumlahnya lebih besar.
Dikatakannya, Pemerintah memang memiliki Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang di dalam Pasal 53 tertulis tentang persentase minimum pekerja disabilitas, tapi belum banyak diimplementasikan oleh pengusaha dan pemerintah. Kedua hal tersebut merupakan bentuk nyata dari diskriminasi terhadap masyarakat disabilitas.
“Keterbatasan lapangan kerja pada masyarakat disabilitas membuat mereka berpotensi mengalami kemiskinan dua kali lebih besar dibandingkan penduduk lainnya. Padahal kita tahu, kemiskinan selalu menyertai penduduk di wilayah yang rusak. Akibatnya, ketimpangan ekonomi akan semakin terasa. Belum lagi jika bicara tentang fasilitas kesehatan. Kerusakan lingkungan ini sangat merugikan kelompok disabilitas,” tutupnya. (Jen/red)