SERANG, – Gelombang penolakan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja tak kunjung mereda, Kali ini, Giliran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) se-Banten menggelar aksi Demonstrasi di depan Pendopo Gubernur Banten.
Dalam aksinya mereka mendesak Gubenur Banten secara terbuka untuk menyatakan Ikut Menolak Omnibus Law RUU Ciptakerja.
“Kami meminta Gubernur Banten (Wahidin Halim,red) secara terbuka menolak Omnibus Law,” kata Ari, koordinator lapangan (Korlap) Aksi disela-sela orasi, pada Jum’at (9/10/2020).
Tak hanya itu, Ari kembali mendesak Gubernur Banten untuk segera mengambil sikap serta harus mendesak presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Omnibus Law.
“Pemerintah daerah harus segera mengambil sikap dengan mendesak Presiden Jokowi menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang,red) pembatalan Omnibus Law,” ujarnya
Selama ini, dikatakan Ari, Pemerintah Provinsi Banten terkesan menutup diri ditengah desakan seluruh elemen mahasiswa beserta buruh dalam menolak Omnibus Law.
Bagi dia, rakyat Banten butuh keberpihakan kepala daerah yang menunjukan keberpihakan termasuk menyerap aspirasi penolakan Omnibus Law.
“Gubernur Banten cari aman tidak menyatakan sikap menolak Omnibus Law, padahah pemerintah daerah lain sepeti Gubernur Jabar, Jatim, dan DKI semuanya sudah bersikap menolak Omnibus Law,” terangnya.
Ari mengegaskan, sikap kontra HMI dilatarbelakangi oleh beberapa point RUU Ciptaker yang bertentangan dengan semangat konstitusi dan sarat kepentingan modal.
Hal itu, menurut dia, Tertuang dalam UU lama yang membahas cuti kehamilan dalam pasal 82 UU sebelumnya mengatur tetang istirahat melahirkan bagi perempuan.
“Nah didalam UU baru ini menerangkan tidak adanya cuti hamil dalam Omnibus Law dan pemberian upah tidak ada karena diatur hitungan kerja menjadi perjam,” tuturnya.
Selain itu, sambung dia, pembahasan mengenai pengambilan kewenangan pemerinah pusat tercantum dengan jelas dalam pasal 170 UU Ciptakerja.
“Berdasarkan pasal ini pemeritnah pusar berwenang mengubah ketentuan membatalkan perda dengan menggunakan perpres sedangkan rencana pasla ini bertentangan dengan putusan MK Nomor 56/PU-XIV/2016,” ungka Ari.
Secara keseluruhan, lanjut Aril, UU Cipta kerja sangat merugikan masyrakat dan pemodal karena tidak mengakomodasi aspirasi dan kesejahteraan buruh serta keberlangsungan lingkungan dan pengelolaan suberdaya alam terancam.
“Masih banyak pasal multitafsir dalam UU Ciptakerja, karena pemerintah terlalu tergesa-gesa melakukan pengesahan RUU Ciptaker dimasa pandemi Covid-19,” tutupnya. (Jen/red)