SERANG – 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang dimulai pada tanggal 25 November hingga 10 Desember 2020 merupakan momentum besar dalam perjuangan perempuan melawan diskriminasi demi keadilan.
Sejarah kelam mencatat, perjuangan Mirabal bersaudara dan Marsinah menjadi korban kediktatoran rezim yang berkuasa pada perempuan. Wajah kekerasan terhadap perempuan terus berhamburan menampar-nampar kemanusiaan di Tanah Air.
Demikian dikatakan Juru Bicara GMNI Serang, Kiki Rismariyanti saat menggelar reflekasi 16 Hari HAKTP sekaligus Peringatan HAM Internasional 10 Desember 2020 kemarin di Jalan Jendral Soedirman, No. 30, Kota Serang.
“Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat,” katanya.
Menurut dia, Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, menunjukan bahwa sepanjang tahun 2019 jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sebesar 431.471.
Rincianya, ujar dia, Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) mendominasi sebanyak 75% dan kasus kekerasan terhadap perempuan pada ranah publik sebesar 24% dengan pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).
Sementara sisanya, lanjut dia, sebesar 1% adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara meliputi tindak penggusuran lahan, tidak adanya perlindungan buruh migran, kemiskinan (kekerasan ekonomi), kasus intimidasi kepada jurnalis perempuan ketika melakukan liputan.
“Tiap menit banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dengan terancamnya rasa aman perempuan. Angka kekerasan diatas menunjukan bagaimana negara tidak mampu dalam menjamin keselamatan dan perlindungan bagi perempuan dan anak di Indonesia,” ungkapnya.
Bagi Kiki, Sangat Ironi ditengah wabah pandemi covid 19 yang terjadi pemerintah justru mengesahkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan kembali dibahasnya RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi paket lengkap alat penindasan yang dibuat secara sistematis oleh negara untuk mendikriminasi dan mengancam kehidupan perempuan ditengah wabah pandemi.
“Hari ini pemerintah sedang menari ditengah penderitaan rakyat yang berada diambang jurang kemiskinan dan berkeliarannya para predator seksual menjadi ancaman yang mengintai rasa aman perempuan dan anak ditengah pandemi,” pungkasnya, (jen/red)