SERANG – Tertahanya Sebagian Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) 2020 untuk delapan Kabupaten Kota di Provinsi Banten terus bergulir.
Pengamat Maha Bidik Indonesia Muhamad Ojat Sudrajat menilai, rencana pemprov Banten hendak menyalurkan DBH 2020 secara bertahap harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah di delapan Kabupaten/Kota.
Menurut Ojat, jika disetujui maka kedudukan skema pembayaran tersebut masuk kategori utang piutang sesuai PP Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Pinjaman Daerah
“Saya justru mempertanyakan itu?, ada nggak MoU (Memorandum of Understanding)-nya, kalau ada berarti clear, tapi kalau MoU-nya nggak ada, berarti tidak sesuai PP 56 tahun 2018,” Ujar Ojat di Kota Serang, Rabu (17/3).
Ojat menyebut, DBHP bentuk pengelolaan keuangan negara ketika dicatat sebagai utang piutang pemrpov harus transparan kepada Kabupaten dan Kota. Jadi sesuai aturan main ada ketentuan bungan dalam utang piutang tersebut.
“DBH ini nilainya tidak sedikit. Maka perlu ada pertanggungjawaban, perlu keterbukaan, jika ini menjadi utang piutang maka buka MoU-nya. Dan hak Kabupaten/Kota untuk mendapatkan bunga. Jangan sampai nanti kekeliruan disatu pihak akhirnya akhirnya merugikan pihak lain,” Tegasnya.
Selama ini, jelas Ojat, delapan Kabupaten dan Kota baru menerima dana hasil pajak bulan Januari, Maret, April, Mei, dan Juni, sedangkan Juli sampai Desember 2020 belum tersalurkan.
Padahal, kata Ojat, DBH Juli sampai Desember merupakan dana tunai yang masuk ke RKUD-nya Pemprov Banten di Bank BJB. Artinya bentuk fisik uangnya ada.
“Harus ada kejelasan mengingat fisik uang ada kurang lebih sebesar Rp749 Miliar, dari awalnya bagi hasil, sekarang harus dipertegas posisinya sebagai apa?,” Katanya.
Yang jelas, lanjut dia, Jika dasar DBHP tersendat karena anggaranya digunakan untuk penanganan penanggulangan covid-19, berarti Pemprov Banten terdindikasi melakukan menyalagunaan wewenang karena sesuai aturan dana hasil pajak merupakan kewajiban yang harus diperoleh Kabupaten/Kota.
“DBHP ini kan kewajiban pemprov kepada kabupaten/kota. Makanya agak egois ketika menggunakan DBHP yang harusnya untuk Kabupaten Kota tapi digunakan untuk kepentingan pemrpov. Padahal pemprov sendiri sudah dapat hak-nya,” Ungkap Ojat
Disisi lain, Ojat pun mempertanyakan alasan Kemendagri mengesahkan APBD Banten 2021 diperuntukan bagi pembayaran DBHP Ke delapan Kabupaten dan kota.
Dikatakan Ojat, sesuai PP 56 Tahun 2018 Sumber keuangan pembayaran DBHP disyaratkan tidak boleh dari yang lain kecuali dari pendapatan daerah.
“Nah sekarang pendapatan daerah yang mana yang bisa mengcover, disatu sisi harus jalan untuk DBHP 2021, tapi disisi lain harus mengcover sisa DBHP 2020. Berarti kan ada dana Eks lain yang harus masuk. Saya tidak tahu sumbernya itu dari mana itu,” Terangnya.
Menanggapi hal itu, Staf Khusus Bidang Hukum Pemerintahan Banten, Agus Setiawan mengatakan, dimasa pandemi ada kewajiban pemprov untuk melakukan recofusing anggaran dalam rangka menangani covid-19.
Selain pandemi, kata Agus, persoalan Bank Banten sangat mempengaruhi keuangan daerah, imbasnya pembagian dana hasil pajak ke delapan Kabupaten/Kota tersendat.
“Tidak bisa dibayarkan semuanya, baru bisa dibayarkan Rp1,5 Miliar, masih ada 188 Miliar, iti akan diselesaikam pemprov sampai akhir tahun ini menggunakan APBD Perubahan,” Jelas Agus.
Agus memastikan Pemprov sesuai keuangan daerah Pemprov Banten akan menyelesaikan DBHP tahun ini di APBD Perubahan 2021. Jadi tidak ditreatment sebagai pinjaman daerah.
“Analoginya kan Provinsi nggaj punya uang, dipinjam dulu (DBH Kabupaten/Kota), makanya PP 56 Tahun 2018 tidak digunakan,” Katanya.
“Ada hal secara hujum disebut prematur dan fakta hukum, ini disebut prematur yang tidaj menjadi delik,” Tandasnya (jen/red)