SERANG- Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI) Deni Iskandar mengatakan, kebijakan Gubernur Banten Wahidin Halim memberikan bantuan dana hibah pada Pondok Pesantren (Ponpes) yang bersumber dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2020 hanya dijadikan sebagai agenda bancakan pemerintah provinsi Banten.
Dia menjelaskan, alokasi anggaran bantuan hibah untuk ponpes sebesar Rp. 117 Miliar itu pada prakteknya dipotong oknum birokrat, bahkan Kejati telah menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus tersebut.
“Pemberian bantuan hibah untuk Ponpes itu, tidak utuh. Dalam prakteknya justru ada skema pembancakan. Ujungnya, ini akan mengorbankan para kiai di Banten. Kan saat ini sudah ada satu orang pengasuh ponpes yang jadi tersangka. Padahal, kalau memang perkara ini di usut tuntas, kami sangat yakin, ada aktor intelektual dibalik persoalan ini,” kata Deni, Sabtu 1 April 2021.
Deni mengaku kaget saat dirinya mendapatkan banyak informasi terkait indikasi praktek korupsi dana hibah Ponpes tersebut.
Namun demikian, tambah Denibahwa, program bantuan hibah Ponpes tersebut, secara perencanaan program, tidak matang.
“Sejauh yang saya amati, program bantuan hibah ponpes dari pemprov ini, tidak matang secara perencanaan. Ini terbukti ketika Wahidin Halim selaku Gubernur Banten melaporkan anak buahnya ke Kejati Banten, karena melakukan pemotongan anggaran untuk dibancak. Kemudian juga ketika, ada ratusan Ponpes yang bermasalah dan fiktif,” tambahnya
Dia menjelaskan bahwa, dengan adanya forum silaturami ponpok pesantren (FSPP) di Banten tersebut, seharusnya pada saat penyaluran dana hibah, tidak mesti ada yang namanya ponpes fiktif dan ponpes yang tidak memiliki izin.
Dengan adanya persoalan itu, pria yang akrab dipanggil Don Goler itu menduga bahwa, dalam proses perencanaan program pemberian hibah Ponpes tersebut, sudah ada skema kongkalikong di internal Pemprov Banten untuk membancak anggaran hibah Ponpes.
“Buat apa ada FSPP kalau memang masih ada ponpes fiktif, kan ini aneh dan membingungkan. Kemudian juga soal penyaluran ke setiap Ponpes, ini juga ada pemotongan, kalau pun penyalurannya itu lewat rekening langsung, kemudian ada pemotongan. Ini jelas ada upaya kongkalikong. Saya yakin, Kiai di Banten, tidak tahu menahu persoalan ini,” kata Deni
Namun pada akhirnya, para Kiai ditumbalkan, dan hal ini yang JPMI tidak mau, makanya kedzoliman ini harus di usut tuntas. Kami percaya, KPK akan mengusut tuntas persoalan ini. Kiai di Banten, harus kita jaga, jangan sampai masuk penjara, cukup WH dan Kroninya saja yang masuk penjara,” tegas Deni.
Selanjutnya, Deni juga menambahkan bahwa, pada pusaran korupsi dana hibah Ponpes itu, Gubernur Banten Wahidin Halim selaku kepala daerah terindikasi berperan aktif. Sebab, Deni menjelaskan, Wahidin Halim berperan sebagai penanggung jawab umum pelaksana anggaran.
“Jadi kalau kita melihat SK Hibah, maupun pengesahan-pengesahan lainnya yang itu berkaitan dengan dana hibah Ponpes, tentu disini ada peran Gubernur WH. Itu sesuai dengan aturan mainnya, misalnya kalau acuan kita ke Pergub No 10 itu ya, WH juga tandatangan itu. Secara prinsip, jika tidak ada kebijakan model begini, gak mungkin, ada pengurus pondok yang jadi tersangka,” tambah Deni.
Oleh karenanya, Deni mendukung penuh langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas persoalan dugaan mega korupsi tersebut. “Sikap JPMI jelas dari awal, mendukung penuh langkah KPK untuk turun ke Banten. Persoalan ini harus diusut, jangan sampai Kiai-Kiai di Banten ini dijadikan tumbal dalam persoalan ini. Para kiai di Banten, tidak tahu menahu persoalan ini,” tegasnya
Diketahui sebelumnya, Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI), Rabu (28/04) kemarin secara resmi telah melaporkan persoalan dugaan korupsi dana hibah Ponpes ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
JPMI melaporkan tiga orang yang diduga terlibat dalam perkara tersebut, diantaranya yakni, Gubernur Banten, Wahidin Halim, Sekretaris Daerah (Sekda) Almuktabar dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti. (Jen/red)