SERANG – Pemuda mahasiswa mulai bergejolak turun ke jalan soroti skandal kasus korupsi di Tanah Jawara.
Dua rangkaian demonstrasi besar tumpah hari ini Kamis (3/6), baik di Banten hingga di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.
Di Banten sendiri terdapat puluhan mahasiswa yang terhimpun dalam aliansi Kaolisi Banten Mengunggat (Kasibat) mengepung Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten ‘KP3B’, Curug, Kota Serang.
Aksi Kasibat berlangsung ditengah hujan deras hingga mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Sementara, Jaringan Pemuda Mahasiswa Indonesia (JPMI) memusatkan demonstrasi di gedung KPK RI Jakarta.
Koordinator Kasibat, Arman mengatakan tiga rangkaian kasus korupsi di Banten baik korupsi dana hibah Ponpes, pengadaan lahan Samsat Malingping, hingga pengadaan masker menjadi catatan buruk bagi pemerintah.
“Kita belum mendengar suara yang keluar dari mulut wakil rakyat di legislatif yang memiliki fungsi control dalam kerja-kerja di Provinsi Banten,” ujar Arman disela-sela orasi, Kamis 3 Juni 2021.
Atas kondisi itu, dikatakan Arman, legislatif terkesan melepas harapan rakyat atas berbagai rangkaian kasus korupsi yang melilit tubuh pemerintahan Banten.
“Banten dibawah kepemimpinan Wahidin Halim-Andika Hazrumy sedang tidak baik-baik saja, dimana kasus korupsi merambak bahkan tak terkendali,” katanya.
Padahal, bagi Arman, peralihan Banten menjadi Provinsi memiliki cita-cita besar untuk bagaimana bisa mewujudkan Good Goverment dan menciptakan masyarakat adil makmur sejahtera.
Namun, kata dia, fakta yang terjadi baik di era kepemimpinan Atut maupun Wahidin Halim Banten tidak bisa lepas dari jeratan korupsi.
“KPK juga harus ikut awasi persoalan korupsi di Banten bersama Kejati dalam melakukan pemberesihan Banten dari korupsi,” terang Arman.
Ditempat berbeda, Koordinator JPMI Deni Iskandar mengatakan, berdasarkan hasil investigasi celah dan motif korupsi terjadi karena faktor utamanya diakibatkan sistem kebijakan yang lemah yang dibuat oleh Gubernur Banten.
“Gubernur Banten, Wahidin Halim seakan pura-pura lupa, tentang sistem yang dibuatnya sendiri,” ujar Deni.
Dalam skandal korupsi hibah, dikatakan Deni, terdapat pemotongan saat penyaluran bahkan ada potensi gratifikasi antara oknum dengan pemerintah.
“Bila kita melihat adanya Ponpes Fiktif tentu secara administrasi birokrasi, perilaku ini adalah termasuk bagian dari praktek mal administrasi dan penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Pada konteks ini, Deni menegaskan ada upaya dan tindakan yang tersturktur sistematis, dan masif yang dilakukan oleh Pemprov Banten.
“Apa yang sudah terjadi, tidak bisa dilepaskan dari pada peran dan pertanggungjawaban WH selaku kepala daerah,” katanya.
Sebab, bila mengacu pada konteks asesment (Penandatanganan) Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) seperti diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2019 meski itu dilakukan oleh Kabiro Kesra, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pada perintah Gubernur Banten Wahidin Halim, yang berperan sebagai penanggung jawab umum pelaksana anggaran.
Berdasarkan data yang diperoleh untuk besaran anggaran hibah ponpes tahun 2020 sebesar Rp. 117 Miliar disalurkan kepada sebanyak 4.042 pondok pesantren yang tersebar di delapan Kabupaten dan Kota.
“Dari total keseluruhan Ponpes itu terdapat sebanyak 716 Ponpes Fiktif, dan sebanyak 202 Ponpes tidak memiliki izin operasional,” cetusnya.
Bila dikaji secara objektif, terang Deni, Pemerintah Provinsi Banten mempercayakan penyaluran hibah kepada Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) dimana organisasi ini di bina langsung oleh Gubernur Banten.
“Prakteknya kehadiran FSPP tidak sama sekali bisa mengantisipasi praktek-praktek culas para oknum di lingkaran Pemotong untuk melakukan tindak pidana korupsi di Banten,” ungkapnya.
Hal itu, sambung dia, dibuktikan dengan banyaknya Ponpes fiktif dan Ponpes yang tidak memiliki izin masuk dalam daftar penerima hibah Ponpes.
Oleh karena itu, Deni menuding biang masalah dari persoalan praktek korupsi tidak bisa dilepaskan dari pada tiga elemen pemangku kebijakan peran Gunernur Banten, Sekretaris Daerah, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Rina Dewiyanti.
Kemudian, lanjut dia, Indikasi dugaan korupsi diperkuat pada aturan main yang ada, baik dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pemberian Hibah.
Atas kondisi itu, JPMI mendesak agar KPK segera memeriksa Gubernur Banten Wahidin Halim diduga kuat punya keterlibatan terhadap korupsi dana hibah ponpes di Banten.
“Usut Tuntas dan tangkap aktor intelektual kasus korupsi hibah Ponpes, yang kami duga ada keterlibatan dari Sekda Banten yaitu Almuktabar, dan Rina Dewiyanti selaku Kepala BPKAD Provinsi Banten,” tegasnya.
Selanjutnya,selamatkan dan jaga Alim Ulama, para Kiai dan Pengasuh Pondok Pesantren dari bahaya laten korupsi Dana Hibah Ponpes.
“KPK juga harus memeriksa Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dan tangkap mafia masker Covid-19,” katanya.
Intinya, KPK harus mengusut dan menangkap koruptor dana Bencana Ponpes hingga Covid-19 di Banten.
“KPK harus turun ke Banten dan melakukan supervisi terhadap Kejati Banten serta memantau langsung kasus korupsi yang saat ini tengah di proses Kejati Banten,” pungkasnya. (Jen/red)