Updatenews.co.id- Potret prakrek tindak pidana korupsi Dana Hibah Ponpes di Banten secara jelas telah mencoreng nama baik Banten yang dikenal sebagai provinsi sejuta santri dan seribu ulama.
Dugaan Korupsi dana hibah ponpes di Banten, terjadi pada tahun 2018 dan tahun 2020. Dimana dugaan praktek tindak pidana korupsi keduanya mempunyai pola yang berbeda.
Pada tahun 2018 pemberian dana hibah untuk Ponpes oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, dengan total anggaran sebesar Rp. 66,228 Miliar. Besar alokasi anggaran itu diberikan untuk sebanyak 3.122 pesantren. Masing-masing pesantren mendapatkan Rp 20 juta. Sehingga, total dana hibah yang cair mencapai sebesar Rp 62,440 miliar.
Kemudian, Anggaran tersebut diberikan langsung oleh Pemprov Banten kepada FSPP dan disalurkan langsung kepada pondok pesantren di Banten. Sementara, sebesar Rp 3,84 miliar digunakan FSPP untuk kegiatan operasional, termasuk verifikasi data pesantren.
Alokasi anggaran untuk kegiatan operasional FSPP itu, bersumber dari alokasi anggaran tahun 2018 yang diberikan oleh Pemprov secara keseluruhan untuk Ponpes pada tahun 2018. Lalu kemudian, penyaluran anggaran hibah Ponpes tahun 2018 yang diberikan pada setiap Ponpes itu, dipotong oleh oknum yang mengatasnamakan anggota FSPP.
Hal itu terungkap setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, menetapkan saudara Epi Saepulah atau (ES) sebagai tersangka pada 15 April 2021. Pertanyaannya kemudian, apakah alokasi anggaran yang diberikan Pemrov untuk operasional untuk FSPP itu tidak cukup, sehingga harus ada pemotongan, yang kemudian berakhir pada tindak pidana korupsi?
Selanjutnya, apakah pemotongan yang dilakukan oleh oknum anggota FSPP itu adalah atas dasar perintah Biro Kesra Provinsi Banten, yang kemudian Biro Kesra juga diperintah oleh Gubernur?
Selain itu, apa dasar Pemprov Banten menunjuk, FSPP sebagai penyalur hibah Ponpes?
Bukankah yang berhak menyalurkan hibah adalah harus Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Seperti telah diaturan dalam aturan perundang-undangan yang ada?
Sementara, status FSPP di Banten bukanlah OPD, akan tetapi hanyalah organisasi biasa.
Jika melihat kronologi dan skema pemberian dana hibah Ponpes pada tahun 2018, setelah terjadinya praktek korupsi, jelas. Aktor intelektual dari pada semua ini adalah, Pemprov dan FSPP. Sementara Pondok Pesantren hanyalah korban.
Dilain hal, untuk pola korupsi dana hibah Ponpes tahun 2020, tidak melibatkan FSPP secara langsung. Dimana alokasi anggaran yang disiapkan disalurkan langsung dari Pemprov kepada Ponpes, melalui Rekening masing-masing Ponpes.
Adapun alokasi anggaran yang disiapkan Pemprov untuk Pondok Pesantren itu sebesar, Rp 177,78 miliar. Dengan masing-masing bantuan sebesar Rp 30 Juta, untuk sebanyak 3.982 pondok pesantren.
Apabila pada tahun 2018 alokasi anggaran Ponpes dilakukan pemotongan dari oknum anggota FSPP. Maka pada tahun 2020, kasus tersebut berkembang bukan hanya adanya pemotongan saja, akan tetapi juga terdapat Ponpes Fiktif, atau dalam istilah detik.com adalah Ponpes Hantu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari banyak sumber, Ponpes Fiktif itu terdiri 716 ponpes dan sisanya 202 ponpes belum memiliki Izin Operasional (IJOP) Hal itu terungkap, dari hasil penyidikan Kejati Banten. Namun, JPMI baru mempunyai data Ponpes Fiktif itu sebanyak 123 Ponpes. Itu tediri dari, 76 di Serang, dan 47 di Kabupaten Pandeglang.
Baik soal pemotongan, maupun Ponpes Fiktif, itu semua terjadi disebabkan karena sistem penyaluran dana hibah yang lemah. Kemudian kelemahan dari pada sistem tersebut, tidak bisa dilepaskan dari pada tidak adanya control dari Kepala Daerah dalam hal ini, Gubernur Banten, Wahidin Halim.
Hal itu juga terbukti, ketika Mantan Kepala Biro Kesra Pemprov Banten Irfan Santoso. Secara tegas menyebut bahwa, tindakan pidana korupsi itu terjadi tidak bisa dilepaskan dari pada peran Gubernur Wahidin Halim. Termasuk juga dengan adanya tindakan pemotongan dan fenomena ponpes fiktif, (IS) secara tegas mengatakan bahwa, semua itu atas perintah Gubernur Banten Wahidin Halim.
Hal itu juga dipertegas oleh adanya banyak sumber yang menyebutkan bahwa, Irfan Santoso diundang ke rumah dinas Gunernur di Jalan Brigjen Syam’un, Serang, pada Bulan Agustus Tahun 2019. Dimana pertemuan itu dihadiri pula oleh Kepala Bappeda Muhtarom, Kepala Inspektorat Provinsi Banten Kusmayadi, serta Kepala Biro Pembangunan dan Administrasi Pembangunan Setda Banten Ahmad Syaukani.
Wahidin Halim dalam pertemuan itu diduga menanyakan perkembangan pencairan dana hibah pesantren kepada Ahmad. Ahmad lantas menjawab bahwa dana hibah pesantren belum bisa dicairkan karena belum ada rekomendasi dari Irfan.
Setelah itu, Irfan Santoso menjawab bahwa, dirinya belum bisa memproses pencairan dana hibah lantaran belum ada proposal yang masuk ke Biro Kesra hingga Agustus 2019. Sedangkan berdasarkan Pergub Nomor 10 Tahun 2019, batas akhir pengajuan proposal bantuan hibah pesantren untuk tahun 2020 mesti diajukan selambat-lambatnya pada Mei 2019.
Bila melihat kronologi korupsi hibah Ponpes tahun 2020 tersebut, maka terjawab sudah bahwa, kenapa pemotongan, kenapa ada ponpes fiktif dan kenapa ada proposal yang sama dan bermasalah. Karena mekanisme pencairan hibah jelas melampaui ketentuan aturan perundang-undangan. Bagaimana tidak, ko bisa anggaran turun tanpa proses perencanaan yang jelas.
Dalam bahasa sederhana, mekanismenya adalah, anggaran dahulu yang digelontorkan, kemudian, baru pengajuan. Padahal, dalam logika birokrasi, hal itu seharusnya dibalik, dimana usulan terlebih dahulu baru kemudian alokasi anggaran.
Tentu dalam hal ini, Gubernur Wahidin Halim, harus bertanggung jawab, karena bagaimana pun, keterlibatannya dalam persoalan ini, jelas ada dan faktanya sudah terang menderang. Lalu kemudian, apakah Kejati Banten berani memeriksa dan memanggil Gubernur Banten, dan mengusut tuntas persoalan ini? Itu semua hanya Allah dan Kejati Banten yang Tahu !
Penulis: Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI), Deni Iskandar.