SERANG – Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI) Deni Iskandar kembali mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan supervisi atau mengambilalih berkas perkara kasus korupsi dana hibah pondok pesantren (Ponpes) di Banten.
Kasus korupsi hibah Ponpes yang diduga menyeret nama Wahidin Halim selaku Gubernur Banten, Sekretaris Daerah, Al Muktabar hingga Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Rina Dewiyanti diminta segera diusut tuntas oleh KPK sebagai lembaga anti rasuah.
Deni mengatakn, penanganan kasus korupsi hibah ponpes oleh Kejati Banten selama ini terkesan lamban bahkan terkesan tidak serius dalam mengusut tuntas kasus yang itu mengorbankan para kiai di Banten.
“Dari awal, JPMI melihat bahwa mengusut tuntas kasus ini, harus punya keberanian dua kali lipat. Makanya kami melaporkan perkara ini ke KPK. Kami melihat justru saat ini, kinerja Kejati Banten itu lambat. Padahal kasus korupsi ini penting untuk diusut. Oleh karena itu, kami mendesak KPK segera lakukan supervisi atau segera mengambialih berkas perkara korupsi itu. Secara hukum itu bisa, dan KPK punya kewenangan itu,” kata Deni dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat 11 Juni 2021.
Fungsionaris Pengurus Besar HMI Bidang Pemberdayaan Umat itu menerangkan bahwa, KPK memiliki kewenangan yang jelas sudah diatur secara perundang-undangan untuk mengambil alih kasus tersebut dari tangan Kejati Banten.
Hal itu, kata Deni, seperti tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun dalam Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Jadi proses pengambilalihan kasus, itu bisa dilakukan oleh KPK. Acuannya jelas dan perintahnya juga jelas dalam UU maupun dalam Perpres. Artinya, KPK punya kewenangan yang kuat untuk memproses tindak pidana korupsi dana hibah Ponpes di Banten ini,” tegasnya.
Informasi, dalam pasal 9 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 disebutkan bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia,
Seperti diketahui, saat ini Kejati Banten secara resmi telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus korupsi dana hibah Ponpes tersebut, salah satunya mantan Kepala Biro Kesra, Irvan Santoso. Belakangan, nama Gubernur Banten Wahidin Halim sempat diseret dalam pusaran korupsi hibah Ponpes tersebut.
JPMI, dikatakan Deni, ragu dengan Kejati Banten bisa mengusut tuntas dalang atau aktor intelektual korupsi dana hibah Ponpes.
Sejauh ini, dikatakan dia, kejati masih belum bisa mengungkap siapa dalang dan aktor intelektual sebenarnya, dibalik adanya praktek korupsi dana hibah Ponpes tersebut.
“kami hari ini ragu dengan Kejati. karena sampai saat ini Kejati belum juga bisa mengungkap dalang dan aktor intelektual sebenarnya. Padahal jelas, masuknya Irvan Santoso sebagai tersangka, itu justru karena ada aktor dan dalangnya.” Ungkapnya.
Dia menduga bahwa, kinerja Kejati Banten dalam mengusut tuntas kasus korupsi dana hibah Ponpes tersebut berada dibawah tekanan karena sampai saat ini Kejati belum memanggil Wahidin Halim selaku Gubernur.
Padahal, bagi Deni, keterangan yang menyebutkan bahwa, Gubernur WH ikut terlibat, telah disampaikan oleh mantan Kabiro Kesra, Irvan Santoso.
“Justru yang kami lihat, dalam perkara ini kerja-kerja Kejati Banten ini sedang dalam tekanan. Ini hanya sebatas dugaan, dari hasil penglihatan kami dalam menangani kasus. Waktu itukan sudah disebut oleh IS lewat pengacaranya. Harusnya jelas dong, Kejati segera memanggil dalangnya. Apalagi, IS hanya disuruh atasan,” katanya.
“Orang nomor satu di Banten itu cuma Gubernur. Tapi faktanya, justru Kejati belum memanggil tuh. Baru sebatas memanggil Sekda dan BPKAD doang. Kemudian pertanyaannya hari ini adalah, berani tidak Kejati memanggil WH sebagai Gubernur. Kan itu aja,” tutupnya. (Jen/red)