Oleh : Dedi Kusnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tahukah anda bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menyumbang pengangguran terbanyak selama 2 tahun terakhir? Padahal sekolah ini dikhususkan untuk membentuk tenaga terampil yang siap pakai. Apa yang salah?
Tercatat pada 2021, pengangguran dari lulusan SMK sebanyak 11,45 persen, SMA 8,55 persen, Universitas 6,97 persen, SMP 5,87 persen, dan SD 3,13 persen. Pada 2020 komposisinya tidak jauh beda, namun jumlah pengangguran dari SMK sedikit lebih besar yakni 13,55 persen.
Disinyalir, tingginya angka pengangguran tersebut akibat ketidakcocokan (mismatch) antara kompetensi lulusan sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. Untuk itu, perlu dicari jalan keluar menyelaraskan keduanya.
Pendidikan Vokasi
Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, pemerintah fokus mengembangkan pendidikan vokasi sebagai perwujudan sembilan agenda prioritas (Nawa Cita), khususnya agenda nomor 5 dan 6, yakni meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan produktifitas rakyat.
Salah satu cara yang akan dilakukan untuk mewujudkannya adalah dengan membangun sejumlah science park dan techno park di daerah-daerah, politeknik, dan SMK-SMK dengan sarana dan prasarana dengan teknologi terkini.
Disamping itu, pemerintah berkomitmen membangun sistem pendidikan terpadu yang dibutuhkan pasar, sekaligus untuk menghadapi era kompetisi di dunia internasional.
Untuk keperluan tersebut, Presiden Joko Widodo telah berkunjungan ke Pusat Pelatihan Pendidikan Vokasi Profesional di Siemens Jerman pada 18 April 2016, setelah sebelumnya bertemu dengan Presiden Republik Federal Jerman Yoachim Gauck.
Di sini, Presiden mendapatkan penjelasan terkait pendidikan kejuruan sistem ganda (dual training). Sistem ini berorientasi kerja, mengharuskan para siswa belajar di dua tempat, yakni sekolah dan industri. Dengan demikian akan terjadi sinergitas antara pembelajaran di sekolah dengan keahlian yang diperoleh di industri.
Jerman dipilih karena dipandang berhasil mengembangkan pendidikan vokasi, sehingga tingkat pengangguran di negara ini termasuk paling rendah.
Beberapa negara Uni Eropa mencoba meniru sistem pendidikan Jerman untuk memerangi pengangguran. Sementara Amerika Serikat, Brazil, dan Rusia secara khusus ingin mengadopsi sistem dual training model Siemens.
Atas dasar hasil kunjungan tadi, pemerintah menjalin kerja sama dan meminta dukungan negara Jerman untuk mengembangkan pendidikan vokasi di Indonesia.
Secara spesifik, pendidikan vokasi merupakan gabungan antara teori dan praktik secara seimbang, berorientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulumnya terkonsentrasi di sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades).
Program ini telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2020–2024 dan ditempatkan pada posisi strategis. Kegiatan tersebut dikembangkan sebagai sarana untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendukung upaya peningkatan produktifitas bangsa.
Usaha penguatan program ini mulai dilakukan dengan membangun komunikasi antar kementerian dan lembaga terkait, yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Selanjutnya dirumuskan Peta Jalan Revitalisasi Pendidikan Vokasional. Tindak lanjut rumusan tersebut dikerjakan oleh tiga kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Kemendikbud akan memimpin Tim Revitalisasi SMK, Kemristekdikti pada Politeknik dan Akademi, dan Kemenaker pada Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kerja Praktik (Magang).
Beberapa kementerian lain pun turut serta dalam mendukung program ini, diantaranya Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Koordinator Maritim (Kemenko Maritim), Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sebagai tindak lanjut hasil koordinasi tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan peraturan Nomor 22 Tahun 2017, berisi tentang pendidikan vokasi dan pelatihan berbasis kompetensi yang link and match dengan Badan Usaha.
Sementara Menteri Ristekdikti menerbitkan peraturan Nomor 54 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan program diploma dalam sistem terbuka pada Perguruan Tinggi. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan pendidikan vokasi dalam sistem terbuka,dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian pendidikan (multy entry multy exit system).
Fasilitas Perpajakan
Demi terselenggaranya program pendidikan vokasi, pemerintah mengajak Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) untuk dukungan dan partisipasi aktif. Peran ini sangat diperlukan mengingat separuh dari kegiatan vokasi dilaksanakan di tempat usaha/industri.
Keseriusan pemerintah dibuktikan dengan diterbitkannya peraturan Nomor 49 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.10/2019. Ketentuan ini mengatur tentang pemberian pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan vokasi.
Insentif pengurangan penghasilan ini biasa dikenal dengan istilah Super Tax Deduction (membebankan biaya lebih dari yang dikeluarkan). Fasilitas ini hanya diberikan untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, dengan syarat kegiatan praktek kerja harus dilaksanakan di tempat usahanya.
Besarnya pengurangan penghasilan bruto yang diberikan paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Nilai pengurangan ini dibagi dalam dua tahap, yakni 100 persen pertama diberikan jika perusahaan hanya menyelenggarakan program pelatihan dan pemagangan saja.
Tambahan 100 persen berikutnya dapat dimanfaatkan jika memenuhi ketentuan, yaitu kegiatan vokasi harus berbasis kompetensi tertentu, telah memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan institusi pendidikan terkait, tidak dalam keadaan rugi fiskal, dan telah memiliki Surat Keterangan Fiskal (SKF) dari kantor pajak.
Kompetensi yang dipersyaratkan meliputi 127 jenis keterampilan pada tingkat SMK/MAK, 268 jenis pada tingkat perguruan tinggi program diploma, dan 58 jenis pada BLK. Ragam jenis kompetensi ini mencakup berbagai sektor, diantaranya manufaktur, kesehatan, agribisnis, pariwisata, industri kreatif, ekonomi digital, dan pekerja migran.
Perusahaan yang berminat memanfaatkan fasilitas ini pun disarankan menggandeng mitra dari institusi pendidikan terkait. Kolaborasi antar keduanya dituangkan dalam PKS. Perjanjian dapat dilakukan antara perusahaan dengan pihak sekolah, perguruan tinggi, atau BLK, serta dapat juga dijalin dengan instansi di bidang ketenagakerjaan.
Berikutnya sebagai pelengkap, perusahaan diharuskan memiliki SKF dari kantor pajak setempat. Surat ini dapat diperoleh dengan cara mengajukan permohonan melalui laman djponline.pajak.go.id, dan akan didapatkan paling lama 3 hari sejak pengajuan.
Adapun jenis pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, antara lain biaya penyediaan fasilitas fisik khusus (tempat pelatihan) dan penunjangnya (listrik, air, bahan bakar, pemeliharaan), biaya instruktur, pembelian barang atau bahan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan, honorarium kepada peserta latih, dan biaya sertifikasi kompetensi.
Tak ketinggalan, pemerintah telah menyiapkan akses melalui laman oss.go.id (online single submission), bagi perusahaan yang berminat ikut program ini. Pendaftaran dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun secara waktu nyata (real time).
Dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya, perusahaan diminta menyampaikan laporan pengeluaran biaya setiap tahun, paling lambat bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan. Alpa dalam menyampaikan laporan akan berakibat pada batalnya insentif yang diterima.
Insentif Super Tax Deduction dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghemat uang pajak (tax saving), sekaligus untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing usaha. Melalui program ini juga diharapkan akan terbentuk siswa-siswa super, yang menguasai ilmu dan teknologi terkini sesuai kebutuhan dunia usaha.
* Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.