Oleh : Dedi Kusnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah selesai sejak 3 bulan lalu. Gelaran yang dilaksanakan pada 1 Januari 2022 – 30 Juni 2022, sangat diminati Wajib Pajak (WP). Tercatat 247.918 WP turut serta, dengan total pembayaran mencapai 61,01 triliun. Namun setelah program ini berakhir, apa yang harus dilakukan?
Sebagaimana janji di awal program, peserta PPS akan menikmati beberapa keistimewaan, yakni untuk Kebijakan I, tidak kena sanksi kenaikan 200 persen, dan di Kebijakan II, tidak akan diperiksa untuk tahun pajak 2016 – 2020.
Ditambah adanya proteksi data, yang menjamin bahwa data harta yang disampaikan melaui 2 kebijakan ini, tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana.
Apakah peserta PPS secara otomatis akan mendapatkan keistimewaan tadi?
Proses keikutsertaan di PPS berbeda dengan Amnesti Pajak. Saat program Amnesti Pajak, Surat Pernyataan yang disampaikan, diteliti dulu oleh petugas pajak, sehingga Surat Keterangan yang diperoleh WP telah final.
Namun pada PPS, WP harus menyampaikan sendiri Surat Pernyataan Pengungkapan Harta (SPPH) secara elektronik, tanpa melalui proses penelitian. Karenanya dimungkinkan terjadi kesalahan tulis, hitung, maupun kekeliruan dalam memasukkan data.
Untuk memperbaikinya, semua data yang masuk akan divalidasi oleh sistem secara otomatis. Jika ada yang tidak selaras, maka sistem akan meneruskan data tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar.
Selanjutnya, data diteliti ulang oleh Account Representatif (AR) dengan cara memadankan (matching) data di Surat Keterangan dengan basis data pajak.
Hasilnya akan terbit beberapa jenis surat, antara lain Surat Pembetulan, Surat Pembatalan, dan Surat Klarifikasi. KPP juga dapat menerbitkan Surat Teguran untuk menagih komitmen pengalihan harta dari luar ke dalam negeri (repatriasi) dan investasi.
Surat Pembetulan dan Pembatalan
Surat Pembetulan dibuat hanya jika ditemukan kesalahan tulis atau hitung, yang tidak mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak. Surat ini diterbitkan tanpa melalui klarifikasi kepada WP.
Surat tersebut juga sebagai pengukuhan, bahwa Surat Keterangan yang telah diperoleh adalah sah dan WP dapat menikmati keistimewaan sebagaimana dijanjikan.
Ketentuan yang dimaksud terkait dengan periode perolehan harta, proses penegakan hukum (pemeriksaan, penyidikan, proses peradilan, atau pidana di bidang perpajakan), atau pencabutan permohonan layanan administrasi perpajakan.
Surat ini juga dapat terbit jika WP tidak memenuhi persyaratan umum peserta PPS, seperti tidak memiliki NPWP, tidak membayar PPh Final, atau tidak melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020.
Sama seperti Surat Pembetulan, penerbitan Surat Pembatalan juga tanpa melalui proses klarifikasi kepada WP. Dan dengan terbitnya surat ini, maka WP batal mendapatkan keistimewaan sebagaimana peserta PPS.
Surat Klarifikasi
Surat Klarifikasi dilayangkan apabila hasil penelitian menyebutkan ada kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak.
Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran, WP diberi kesempatan untuk melunasi atau memberi tanggapan paling lama 14 hari sejak tanggal penerbitan surat.
Namun andai tidak ditanggapi atau tidak dilunasi, atau mengklarifikasi tapi tidak sesuai keadaan yang sebenarnya, atau menyatakan kelebihan pembayaran, maka akan terbit Surat Pembetulan atau Pembatalan secara jabatan.
Surat Pembetulan ini akan berisi penyesuaian nilai harta dan utang, sebagaimana tertuang dalam Surat Klarifikasi.
Sementara bila ada kelebihan pembayaran pajak, maka WP dapat meminta pengembalian atau memindahbukukan kelebihan tersebut ke jenis pajak lainnya.
Surat Teguran
Surat Teguran diterbitkan jika WP gagal melakukan repatriasi atau tidak menginvestasikan harta sesuai batas waktu yang ditentukan.
Repatriasi harus dilakukan paling lambat pada 30 September 2022, dan harta hasil repatriasi harus berada di Indonesia paling singkat 5 tahun sejak terbitnya Surat Keterangan.
Sedangkan komitmen investasi harus dilakukan paling lambat pada 30 September 2023, dan tidak boleh dicairkan paling singkat 5 tahun sejak realisasi investasi.
Untuk memantau komitmen tersebut, WP wajib membuat laporan secara elektronik ke DJP melalui laman pajak.go.id, selambat-lambatnya bersamaan dengan laporan SPT Tahunan PPh.
Untuk laporan tahun pertama, disampaikan selambat-lambatnya bersamaan dengan SPT Tahunan PPh 2022. Laporan tahun berikutnya mengikuti SPT Tahunan PPh 2023, dan seterusnya, sampai berakhirnya batas waktu repatriasi atau investasi.
WP juga diberi kesempatan memberikan klarifikasi atas Surat Teguran yang diterima, atau menyetor sendiri tambahan PPh Final sesuai ketentuan. Apabila tidak dilakukan, maka akan diteruskan ke proses pemeriksaan.
Harta Yang Belum Dilaporkan
Untuk harta yang belum atau kurang dilaporkan sesuai Kebijakan I, akan dikenai PPh Final sebesar 25 persen, 30 persen, dan 12,5 persen, masing-masing untuk WP Badan, WP Orang Pribadi, dan WP Tertentu, serta ditambah sanksi 200 persen.
Sedangkan di Kebijakan II, akan dikenai PPh Final sebesar 30 persen ditambah sanksi bunga per bulan berikut uplift factor sebesar 15 persen.
Bagi yang tidak ikut PPS, berlaku ketentuan umum, yaitu andai ditemukan data harta, maka akan ditindaklanjuti dengan proses klarifikasi melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
WP dapat merespon surat ini dengan melakukan pembetulan SPT Tahunan dan membayar kekurangan pajaknya. Namun jika tidak ditanggapi, maka akan dilanjutkan ke proses pemeriksaan.
Proses penelitian data terkait PPS masih berlangsung, namun WP diminta meneliti kembali Surat Keterangan dan jumlah harta yang telah dilaporkan di SPT Tahunan. Apabila ada harta yang belum dilaporkan, maka bersiap-siap lah dengan segala konsekuensinya.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.