Oleh : Iman Fathurohman
Ketua Persatuan Wartawan (PWI) Kab Pandeglang periode 2019-2022
Kabuapten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten yang rawan bencana di Provinsi Banten. Seperti bencana alam Banjir, longsor, gempa bumi, Banjir bandang, tsunami bahkan erupsi anak gunung Krakatau. Dengan potensi bencana alam tersebut, sehingga harus diwaspadai dan diantisipasi pada pemilu 2024 mendatang, agar tidak menggangu kelancaran pelaksanaannya nanti.
Sebab, ada beberapa hal dalam proses pemilu serentak yang dapat mempengaruhi kualitas pemilu 2024 mendatang. Seperti, berpotensi terkena ekses serius akibat bencana alam, seperti DPT (Daftar Pemilih Tetap), Kampanye, pemungutan suara, dan partisipasi pemilih.
Soalnya, bencana sering kali membawa dampak pada adanya sejumlah penduduk yang meninggal atau mengungsi. Kondisi ini salah satunya berdampak pada Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) yang tidak memenuhi prinsip komprehensif, mutakhir, dan akurat. Untuk itu, dalam kondisi tersebut, KPU diwajibkan melakukan Coklit terbatas dan berkoordinasi dengan beberapa pihak seperti pemerintah daerah, terutama dengan BPBD dan Disdukcapil untuk menghasilkan DPT yang clear.
Dalam pemilu nanti, yang sering menjadi sorotan dalam topik pembahasan tentang pemilu dan bencana alam adalah proses kampanye. Aktivitas kampanye di lahan eks korban bencana maupun di pengungsian sangat rawan dengan konflik dan pergesekan. Selain itu, kampanye di eks korban bencana disinyalir rawan politik uang.
Sebab, ketika ditengah bencana pada umumnya masyarakat tengah menderita dan mengalami kesulitan ekonomi. Menjelang pemilu 2024, KPU tidak dapat menghentikan sementara tahapan kampanye di wilayah terdampak bencana. Untuk itu, penyelenggara Pemilu arus mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana baik sebelum maupun saat pemungutan suara. Jika mengacu kepada UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terdapat sejumlah pasal dan ayat mengatur ihwal kegiatan pemungutan suara ulang, penghitungan suara dan rekapitulasi suara ulang. Pada Pasal 372 misalnya ayat (1), pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
Selain itu, ekses berikutnya dari pemilu di wilayah terdampak bencana adalah kemungkinan rendahnya tingkat partisipasi warga di daerah terdampak. Hal ini mengingat beban yang tengah dihadapi pemilih terpapar dan terutama terdampak sangat besar. Jangankan untuk memikirkan Pemilu, memikirkan masa depannya pun sulit, apalagi bagi pemilih yang semua harta bendanya luluh lantak di terjang bencana. Banyak pihak yang menyebutkan agak sulit untuk daerah terdampak bencana mencapai angka partisipasi yang tinggi karena kondisi psikologis masyarakatnya yang demikian.
Dasar Hukum pemilu
Padahal dalam Pasal 43 Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: (1) Setiap Warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pemilu adalah sebuah mekanisme penting dalam perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin oleh hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Nasional.
Dasar hukum yang telah diratifikasi oleh Indonesia yakni di antaranya Pasal 2 dan
Pasal 25 Kovenan International tentang Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Seluruh dasar ini menjamin pelaksanaan pemilu sewajibnya dilaksanakan dengan anti-diskriminasi sebagai bentuk pelaksanaan prinsip keadilan di mana semua warga Negara memperoleh persamaan hak dalam menyalurkan inspirasi politiknya.
Sementara itu Miriam Budiardjo tentang partisipasi politik dalam bukunya yang berjudul Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai di dalam tulisannya mengenai partisipasi dan partai politik, Miriam Budiarjo mengaitkan hubungan antara partisipasi politik masyarakat di dalam pemilihan umum secara khusus, dengan peranan partai politik di dalam meningkatkan partisipasi tersebut. Partisipasi politik oleh Miriam secara khusus didefinisikan sebagai, “kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum”
Masyarakat yang ikut ambil bagian dalam partisipasi politik meyakini bahwa kegiatan yang dilakukannya memiliki sebuah efek atau dinamakan political efficacy. Pada negara-negara yang demokratis, tingginya partisipasi politik sebuah masyarakat dapat diartikan sebagai pertanda yang baik. Hal itu menandakan bahwa masyarakat tersebut mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin terlibat di dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah menandakan masyarakat tidak atau kurang memiliki perhatian terhadap masalah kenegaraan.
Meski demikian, tinggi rendahnya partisipasi politik di sebuah masyarakat tidak serta merta dapat dikorelasikan dengan tingkat demokrasi. Sebab pada negara-negara berkembang, kegiatan partisipasi politik dilakukan dibawah tekanan. Nelson di dalam bukunya No Easy Choice membedakan partisipasi menjadi dua kategori, yakni partisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation).
Gagasan atau saran
Untuk itu, KPU Kabuapten Pandeglang harus melakukan pemetaan atau mapping Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akan dijadikan TPS cadangan apabila terjadi bencana alam. KPU memiliki kewajiban untuk memastikan TPS-TPS di 35 Kecamatan yang terancam bencana masih dalam keadaan layak dan aman untuk
menyelenggarakan pemungutan suara. Selain itu, mapping dilakukan dengan Rencana Mitigasi Bencana dengan menyusun rancangan di TPS desa-desa penyangga, maka KPU membuat skenario apabila terjadi bencana sebelum, saat dan setelah pemungutan suara. Apabila bencana terjadi sebelum Februari 2024, maka (1) TPS akan didirikan sesuai dengan lokasi tempat pengungsian sesuai dengan arahan dari pemerintah setempat seperti Camat, dan kepala desa yang telah disusun pada pemutakhiran data di atas, (2) semua personil penyelenggara baik KPPS, PPS dan PPK se-kecamatan yang kena kawasan bencana melaksanakan pemilihan di lokasi pengungsian.
Ancaman bencana alam menyebabkan permasalahan di berbagai tahapan pemilu 2024. Aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah daftar pemilih, logistik pemilu, verifikasi peserta pemilu, anggaran, sosialisasi, kampanye pemungutan suara, dan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. Untuk itu, diharapkan tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2024 mendatang lebih tinggi dibanding target angka partisipasi nasional. Hal tersebut bisa dilakukan dengan komunikasi dan koordinasi yang sangat baik antara penyelenggara pemilu dengan stakeholder formal dan informal. Stakeholder formal dalam hal ini adalah lembaga pemerintah
seperti BPBD dan Disdukcapil. Sedangkan stakeholder informal yang dimaksud dalam hal ini adalah organisasi berbasis kearifan lokal seperti relawan-relawan kebencanaan yang memiliki peran sangat besar dalam edukasi, mitigasi, serta informasi pengurangan risiko bencana. Sehingga, diharapkan dengan komunikasi dan koordinasi yang baik itu akhirnya melahirkan beberapa skenario yang disiapkan bila terjadi bencana pada saat hari H pemungutan suara. Semua stakeholder benar-benar memahami apa yang menjadi perannya jika bencana datang di hari pencoblosan.