Oleh : Dedi Kusnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam setiap kepemilikan properti, baik oleh invidu maupun badan hukum, terdapat hak negara di dalamnya. Hak tersebut berupa pajak, yang dikenakan pada setiap kegiatan, baik dalam aktivitas perpindahan hak maupun proses membangun sendiri.
Properti merupakan harta, dapat berupa tanah atau bangunan, serta sarana lainnya yang tidak terpisahkan dari kedua hal dimaksudkan.
Kepemilikan properti bisa diperoleh dengan berbagai cara, antara lain: penjualan, tukar-menukar, pelepasan atau penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dalam transaksi jual beli, jika pihak yang menjual properti merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka wajib memungut PPN sebesar 11 persen. Hasil pemungutan ini, selanjutnya disetorkan ke kas negara.
Pengusaha juga wajib membuat faktur pajak, sebagai bukti pungutan pajak. Faktur ini berfungsi sebagai pajak keluaran, dan harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang bersangkutan.
Di sisi pembeli, ia akan membayar harga properti sesuai kesepakatan dan menerima faktur pajak. Jika pembeli juga PKP, maka faktur ini berlaku sebagai pajak masukan. Nota tersebut dapat diperhitungkan manakala ia menjual kembali bangunan tersebut.
Lain halnya jika penjualnya merupakan pengusaha kecil dan belum dikukuhkan sebagai PKP, maka ia dilarang menerbitkan faktur pajak, juga tidak berhak memungut PPN.
WP yang termasuk kelompok ini, jika peredaran usaha setahunnya kurang dari Rp4,8 miliar. Namun jika dikehendaki, pengusaha ini pun dapat meminta untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Kepemilikan properti juga bisa dilakukan dengan cara membangun sendiri. Pada kegiatan ini ada pajak yang harus dibayar, yaitu PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS). Tarif efektifnya sebesar 2,2 persen. Ketentuannya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2022 (PMK-61/2022).
Namun, pengenaan pajaknya terbatas dan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: Pertama, konstruksi bangunan utama terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata, atau bahan sejenis, dan/atau baja.
Kedua, properti diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau kegiatan usaha. Ketiga, luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2. Dan Keempat, proses pembangunannya harus diselesaikan paling lama 2 tahun.
Pajak yang harus dibayar sebesar tarif PPN KMS dikalikan jumlah biaya yang dikeluarkan, tidak termasuk biaya perolehan tanah. Kewajiban ini harus dilaksanakan saat properti mulai dibangun sampai dengan selesai.
Kegiatan membangun properti yang dilakukan oleh pihak lain, sepanjang PPN nya tidak dipungut, maka termasuk dalam kegiatan membangun sendiri.
Namun, jika pemilik bangunan memberikan data identitas yang membangunnya, maka yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Pajak Penghasilan (PPh)
Dalam transaksi jual beli properti, juga ada pajak yang harus ditunaikan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final. Tata caranya termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016.
Kewajiban ini dibebankan pada para penjual. Tarif pajaknya adalah sebagai berikut:
Pertama, sebesar 2,5 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, untuk semua jenis properti.
Kedua, sebesar 1 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan, khusus untuk penyerahan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana.
Syaratnya, Wajib Pajak (WP) yang melakukan penyerahan adalah mereka yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Ketiga, sebesar 0 persen, jika pengalihan hak dilakukan kepada pemerintah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, yang mendapat penugasan khusus.
Transaksi jual beli ini dikecualikan dari PPh, antara lain: penyerahan oleh perorangan yang penghasilannya di bawah Penghasilan Kena Pajak (PTKP), dan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta.
Termasuk pengalihan hak karena hibah, waris, dan penggabungan atau peleburan usaha, juga tidak dikenakan PPh Final.
Pajak yang terutang atas transaksi tersebut harus disetor sendiri oleh yang bersangkutan. Penyetoran dilakukan sebelum penandatanganan akta oleh pejabat yang berwenang.
Namun untuk perorangan atau badan, yang usaha pokoknya menyerahkan hak atas tanah dan/atau bangunan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, setelah diterima pembayaran.
PBB dan BPHTB
Mulai 1 Januari 2001, pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan oleh pemerintah daerah, yang sebelumnya diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak jenis ini diadministrasikan oleh 2 instansi.
PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2) dikelola oleh pemerintah daerah, sementara PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Lainnya, diadministrasikan oleh kantor pajak.
Tarif PBB-P2 ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), dengan besaran paling tinggi 0,5 persen. Dan dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Besarnya NJOP ditentukan paling rendah Rp10 juta dan ditetapkan setiap 3 tahun sekali. Khusus untuk objek tertentu, dapat ditetapkan lebih cepat mengikuti perkembangan wilayah.
Untuk BPHTB, bea ini dibebankan kepada pembeli, karena ia mendapatkan manfaat dan hak kepemilikan atas properti tersebut.
Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 1997, dan diubah terakhir dengan UU Nomor 20 Tahun 2000.
Jumlah BPHTB yang harus dilunasi sebesar 5 persen dikalikan nilai transaksi, setelah sebelumnya dikurangi NJOPTKP.
Adapun besarnya NJOPTKP di setiap kabupaten/kota berbeda, sesuai kebijakan kepala daerah masing-masing. Namun, besarnya tidak kurang dari Rp80 juta. Khusus untuk perolehan hak karena waris, besarnya minimal Rp300 juta.
Ada juga transaksi yang tidak dikenakan BPHTB, antara lain : perolehan hak untuk kantor pemerintah yang propertinya dicatat sebagai Barang Milik Negara atau Daerah (BMN/D), dan untuk kepentingan umum.
Juga hak yang diterima oleh badan atau perwakilan lembaga internasional, perwakilan diplomatik dan konsulat, wakaf, serta hak yang diterima oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Kewajiban terkait properti yang harus ditunaikan oleh masyarakat, merupakan hak dan sumber pendapatan negara. Penerimaan ini dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selanjutnya, dana tersebut digunakan oleh negara untuk menjalankan roda pemerintahan, mempercepat pembangunan, serta untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Oleh karenanya, setiap anak bangsa berkewajiban mendukung dan bergotong-royong, menjaga berlanjutnya pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur, dengan cara membayar pajak sesuai ketentuan.
• Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.