SERANG, – Badan Narkotika Nasional atau BNN Provinsi Banten Gerebek sebuah rumah mewah di Kecamatan Tanyakan, Kota Serang, Banten yang dijadikan clandestine laboratory atau laboratorium tersembunyi untuk memproduksi obat keras jenis Hexymer, Paracetamol Caffein Carisoprodol atau PCC, Tramadol dan Trihexphenidyl.
Dari penggerebekan tersebut BNN Provinsi Banten telah menyita barang bukti narkoba dengan total berat satu ton lebih dengan nilai mencapai Rp145 miliar.
Hal tersebut diungkap BNN RI saat rilis pers pada Rabu (2/10/2024) di Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berlokasi di Lingkungan Gurugui, Kelurahan Lialang, Kecamatan Taktakan, Kota Serang.
Dalam rilis pers tersebut dihadiri langsung oleh Kepala BNN RI beserta jajarannya, Kepala BNNP Banten, BPOM RI, Kapolda Banten, Danrem 064, Ketua MUI Banten, dan Tokoh Masyarakat.
Direktur Psikotropika dan Prekursor BNN, Brigjen Pol Aldrin Marihot Pandapotan Hutabarat mengatakan, saat penggerebekan yang dilakukan pada Jumat (27/9/2024) lalu.
Total tersangka yang telah diamankan BNN Banten berjumlah 10 orang termasuk otak kriminal BY yang ternyata merupakan narapidana dan sudah ditahan sejak 2023 lalu di Tangerang.
Dari balik jeruji, BY tersebut masih bisa mengendalikan operasi bisnisnya. BY bersama istri ketiganya RY dan anak dari istri pertamanya sudah dari bulan Juli 2024 lalu sudah memproduksi narkoba di rumah tersebut.
“Pada Jumat kemarin BNN melakukan penyelidikan dengan melakukan pemantauan terhadap 16 karung yang dikirim melalui jasa ekspedisi,” ucapnya saat rilis pers di TKP.
“Dari hasil pemeriksaan diketahui ada karung yang berisi 960.000 pil putih dan setelah dilakukan uji lab pil tersebut mengandung narkotika jenis PCC” sambungnya.
Dikatakannya, dari sana BNN melakukan pengembangan dan berhasil menangkap tersangka DD yang saat itu akan mengirimkan paket.
“Setelah dilakukan penggeledahan di rumah tersebut, yang ternyata jadi laboratorium produksi narkoba. Di situ ada sisa hasil produksi Pil PCC sebanyak 11 ribu butir dan bentuk serbuk seberat 2.800 gram ditemukan di dalam rumah,” katanya.
Dijelaskannya, para tersangka yang berhasil diamankan dari pengembangan yaitu DD berperan sebagai pengirim paket , AD pengawas produksi, BN pemasok bahan, RY koordinator keuangan, FS berperan sebagai buyer, BY otak pengendali, AC pengemas hasil jadi, JF sebagai koki, HZ pemasok bahan, dan LF pemasok bahan dan pengemas hasil jadi.
Selain itu, BNN juga berhasil menyita empat mesin cetak tablet otomatis yang per jamnya dapat menghasilkan 2.000 sampai 15.000 butir pil, satu mesin pencampur, satu unit mixer kecil, dua buah ayakan, dan satu vacum sealing untuk membungkus tablet yang siap edar.
“Berdasarkan keterangan Tersangka berinisial BY, diketahui bahwa mesin cetak pil tersebut dibeli pada tahun 2016 dan 2019 seharga Rp 80 juta sampai dengan Rp 120 juta, sedangkan untuk mesin mixer (pengaduk) dibeli pada tahun 2016 seharga Rp 17,5 juta. Semua mesin-mesin tersebut dibeli secara langsung kepada seseorang yang berinisial IS,” ujar Aldrin.
Masih kata Aldrin, tersangka JF yang berperan sebagai koki sejak awal produksi di rumah tersebut telah memproduksi Pil PCC sebanyak 6,9 juta butir.
“Dari total keseluruhan barang bukti pil PCC, baik yang ada di rumah produksi (TKP) maupun yang akan didistribusikan berjumlah 971.000 butir, untuk harga pasaran pil PCC perbutir nya yaitu seharga Rp150 ribu bila dikalikan dengan jumlah barang bukti saat ini maka akan bernilai Rp145 miliar,” terangnya.
Selain PCC lanjutnya, barang bukti yang diamankan juga termasuk obat-obatan jenis tramadol dalam bentuk serbuk sebesar 75.000 gram atau 75 kilogram.
Serbuk tersebut bisa menghasilan 1,5 juta tablet, sementara harga tramadol per butirnya Rp10 ribu sehingga total yang bisa dihasilkan senilai Rp15 miliar.
Kemudian, obat jenis lainnya yaitu Trihexphenidyl sebanyak 2,79 juta butir yang per butirnya Rp2000, total nilainya yaitu Rp5,4 miliar. barang bukti selain PCC akan diberikan kepada BPOM RI.
“Pengungkapan kasus penemuan clandestine laboratory ini merupakan bagian dari upaya BNN dalam memberantas peredaran gelap narkotika dan melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika terutama di daerah yang memiliki posisi geostrategis sebagai lintasan perdagangan nasional maupun internasional serta berpotensi sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan pemukiman,” pungkasnya.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan n Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) subsider Pasal 113 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) lebih subsider Pasal 112 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
(Fdz/red)