TANGERANG – Ketua IDI Cabang Tangerang dr. Emma Agustini menilai bahwa Pembatasan Sosial Besar Berkala (PSBB) di Kota/Kabupaten Tangerang tidak berjalan dengan efektif. Pasalnya, di sejumlah kawasan industri masih ada yang belum menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Menurutnya, physical distancing atau menjaga jarak fisik antar karyawan masih bisa diatur. Kendati demikian, ia menyayangkan kara masih ada sejumlah industri yang tidak menerapkan phyaical distancing terhadap karyawan pada saat jam keluar pabrik, karyawan terlihah cenderung bergerombol. Hal tersebut Menurutnya bisa menjadi salah satu penyumbang angka statistik positif Covid-19.
“Apakah manajemennya bisa menerapkan protokol kesehatan di setiap pabrik tersebut? Tapi, begitu pula bagaimana karyawan-karyawan itu pulang, mereka berdesak-desakkan. Hal itu yang membuat korban positif Covid-19 turut bertambah,” ujarnya pada Updatenews.co.id, Jumat (08/05/2020).
Emma menilai bahwa PSBB yang di terapkan di Kota/Kabupaten Tangerang belum memenuhi kriteria kesehatan, terlebih jalan-jalan masih ramai di jam-jam tertentu. Ditambah lagi, kata Emma, hasil dari pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) tergolong lambat. Pasien harus menunggu 2 minggu atau 10 hari untuk mengetahui hasil tes tersebut.
“Saya lihat, di jalan-jalan itu malah makin ramai di jam-jam tertentu. Bus-bus juga sudah mulai banyak beroperasi. Andai pun pasien sudah dalam keadaan gawat, pemeriksaannya itu juga harus menunggu selama 2 minggu atau 10 hari paling cepat,” ungkapnya.
Baginya, setiap pasien yang berstatus Pasien Dalam Pantauan (PDP) tidak boleh menunggu hingga 2 minggu atau 10 hari. Adapun Rumah Sakit (RS), kata Emma, mampu mengeluarkan hasil pemeriksaan PCR dalam waktu cepat namun berbayar. Ia menyayangkan hal tersebut kendati banyak korban positif Covid-19 yang menggunakan BPJS.
“Jika ada orang berstatus PDP, itu harus langsung di-swab dan hasil PCR-nya harus keluar dalam waktu 1-2 hari. Memang ada RS yang bisa mengeluarkan hasil PCR dalam waktu 1-2 hari, tapi itupun berbayar. Sementara banyak penderita yang menggunakan BPJS,” paparnya.
Selain itu, ia menjelaskan adanya ketertutupan transparansi data dari pemerintah terkait korban positif Covid-19. Menurutnya, setiap data yang tercantum pada statistika Covid-19 di Indonesia cenderung invalid, yakni kumpulan rekap data 3 atau 4 hari sebelumnya.
“Data yang dikeluarkan saja adalah data yang 3 atau 4 hari sebelumnya. Data kita tidak valid. Ada pertimbangan data tidak boleh dibeberkan, itu juga pemerintah atau lebih tepatnya Dinkes menjaga pasiennya itu enggak diterima masyarakat,” ucapnya.
Di sisi lain, setiap data pemeriksaan PCR yang dikumpulkan, nantinya akan diserahkan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). Ia menilai hal tersebut menyebabkan keterlambatan data oleh pemerintah terkait jumlah orang yang terpapar Covid-19.
“Sudah pasti PCR itu dikirim ke Litbangkes yang notabene-nya adalah bagian dari pemerintah dan itupun lama,” sesalnya.
Bagi Emma, ketidakasiapan masyarakat jika ada warganya yang terpapar Covid-19 merupakan pertimbangan pemerintah untuk tidak melakukan transparansi data. “Akhirnya dengan pertimbangan ini, data tidak diumumkan,” tambahnya.
Menanggapi tendensi munculnya gelombang kedua atau second wave pasca hari raya Idul Fitri, IDI Cabang Tangerang mengkhawatirkan fenomena tersebut. Emma memperkirakan, kinerja tenaga kesehatan akan jauh lebih keras saat second wave benar-benar terjadi.
“Kami tenaga kesehatan akan semakin keras kerjanya. Akan bekerja habis-habisan atau bahkan akan habis kami ini,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Sars-Cov-2 memiliki 40 strain. Hal tersebut diperkirakan akan muncul pada saat second wave berlangsung di mana virus akan bermutasi dan melahirkan strain baru. Ia menegaskan jika setiap orang yang pernah terinfeksi juga dapat kembali terinfeksi atau re-infected.
“Virus ini strain-nya sangat banyak, ada 40. Jika sekarang ini adalah strain yang nomor satu, saat 2nd wave kemungkinan akan keluar strain nomor 7 ataupun 8. Dan yang sudah sakit pun bisa re-infected lho,” jelasnya.
Pihaknya meminta agar pemerintah dari berbagai tingkatan dapat duduk berdampingan dengan tenaga kesehatan. Emma menegaskan agar Pemerintah Pusat dan Pemda serius dalam menangani pandemi Covid-19, khususnya birokrasi dengan pemerintah yang ia nilai berbelit.
“Pemda Kota/Kabupaten Tangerang harus duduk bareng sama tenaga kesehatan, jangan berdiri sendiri-sendiri. Mau minta APD saja harus nulis surat dulu, minta anggarannya dulu. Anggaran turun masih ditanya dulu. Kalau tidak cepat, tumbanglah kami,” pungkasnya. (Gilang/red)













